Minggu, 21 Maret 2010

PENDAHULUAN

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah keadaan dimana terjadi penurunan fungsi ginjal secara progresif, terdiri dari GGK ringan, sedang, berat sampai gagal ginjal terminal atau tahap akhir. Penurunan fungsi ginjal terjadi sesuai dengan penurunan jumlah dari massa ginjal (tabel 1). Fungsi ginjal dinyatakan sebagai laju filtrasi glomerulus (LFG) (1)



Tabel 1. Pembagian gagal ginjal kronik



Massa ginjal yang masih berfungsi(%) LFG

ml/menit/1.73m2 Gejala-gejala

Gagal ginjal ringan 50 – 25 80 – 50 Asimptomatik

Gagal ginjal sedang 25 – 15 50 – 30 Gangguan metabolik dan pertumbuhan

Gagal ginjal berat 15 – 5 30 – 10

Gagal ginjal terminal < 5 ≤ 10 Membutuhkan terapi pengganti ginjal



Dikutip dari Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical paediatric nephrology 3rd ed. Oxford University Press New York., 2003 : 428



ANGKA KEJADIAN

Angka kejadian gagal ginjal kronik sulit ditentukan secara pasti. Pada tahun 1999, di United Kingdom diperoleh data 53,4 per 1 juta anak mengalami terapi pengganti ginjal di mana 2,4% terjadi pada umur kurang dari 2 tahun, 6,4% pada umur 2-5 tahun, 20,5% pada umur 5-10 tahun, 41,2% pada umur 10-15 tahun dan 29,5% pada umur 15-18 tahun (1). Data GGK di Indonesia belum diketahui secara pasti. Di RSCM Jakarta dilaporkan 21 dari 252 anak yang menderita penyakit ginjal kronik (2).



PENYEBAB

Penyebab terjadinya GGK bermacam-macam. Namun terdapat tiga penyebab utama GGK pada anak yaitu kelainan kongenital, kelainan herediter, dan glomerulonefritis. Macam macam penyebab GGK adalah sebagai berikut : kelainan kongenital, kelainan herediter, glomerulonefritis, penyakit multisistem (lupus eritematosus, henoch schoenlein, hemolitic urmic syndrome), misscelaneous (penyakit neuromuskuler, tumor ginjal, syndroma drash). (1)



PATOFISIOLOGI

Ginjal mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu menghasilkan hormon-hormon misalnya eritropoitin, vitamin D3 aktif, membersihkan toksin hasil metabolisme dalam darah, mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa, serta memegang peranan untuk mengontrol tekanan darah(3). Pada gagal ginjal kronik, ginjal tidak mampu menjalankan beberapa atau semua fungsi tersebut di atas. Penyebab utama gangguan fungsi ginjal tersebut oleh karena berkurangnya massa ginjal oleh karena kerusakan akibat proses imunologis yang terus berlangsung, hiperfiltrasi hemodinamik dalam mempertahankan glomerulus, diet protein dan fosfat, proteinuria persisten serta hipertensi sistemik(3). Berkurangnya massa ginjal akibat kerusakan tersebut, akan menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperfiltrasi dari massa ginjal yang tersisa. Akibatnya akan terjadi hipertensi pada massa ginjal tersebut yang dapat menyebabkan sklerosis glomerulus serta fibrosis dari jaringan interstitial(3,4).

Ginjal mempunyai kemampuan yang besar untuk melakukan kompensasi. Bila massa ginjal berkurang 50%, maka gejala-gejala pada GGK masih belum terlihat. Gejala-gejala GGK mulai tampak bila massa ginjal berkurang 50% sampai 80% misalnya uremia(3).

Uremia merupakan kumpulan gejala akibat terganggunya beberapa sistem organ sebagai akibat penimbunan toksin dari metabolisme protein(3). Tanda-tanda terjadinya gagal ginjal kronik yaitu adanya ginjal yang mengecil dari foto X-Ray, osteodistrofi ginjal, neuropati perifer serta terjadinya uremia(3).

Terjadinya osteodistrofi ginjal sebagai akibat terjadinya hiperparatiroid sekunder. Pada GGK terjadi penurunan LFG, akibatnya terjadi hiperfosfatemia yang akan merangsang kelenjar paratiroid untuk memproduksi hormon paratiroid. Di samping itu pada GGK terjadi penurunan aktifitas enzim 1 α-hidroxylase akan menyebabkan terjadinya hipokalsemia dan hiperfosfatemia. Keadaan ini juga akan merangsang kelenjar paratiroid untuk memproduksi hormon paratiroid. Ada dua macam bentuk osteodistrofi ginjal yaitu osteitis fibrosa cystica yang ditandai dengan peningkatan aktifitas osteoclast atau osteomalacia yang ditandai dengan penurunan aktifitas mineralisasi tulang (3).

Neuropati yang terjadi lebih bersifat sensoris dengan gejala timbulnya paraesthesia serta “sindroma restless leg”. Pada GGK terjadi anemia normokromik normositik, akibat penurunan produksi eritropoitin yang dalam keadaan normal diproduksi di endotel kapiler peritubular (3). Pada gagal ginjal terminal merupakan fase akhir progresifitas dari gagal ginjal kronik. Penderita mengalami kerusakan massa ginjal dalam jumlah sangat besar sehingga untuk mempertahankan fungsi ginjal memerlukan terapi pengganti ginjal baik dialisis atau transplantasi (3).



MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis pada GGK dapat disebabkan oleh penyakit yang mendasari maupun akibat dari GGK sendiri yaitu : (1,2,5,6,7,8)

1. Kegagalan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

2. Penumpukan metabolit toksik atau toksin uremik

3. Kekurangan hormon yang diproduksi di ginjal yaitu eritropoietin dan vit. D3 aktif

4. Respon abnormal dari end organ terhadap hormon pertumbuhan





DIAGNOSIS (1,6)

Untuk menegakkan diagnosa GGK, anamnesis merupakan petunjuk yang sangat penting untuk mengetahui penyakit yang mendasari. Namun demikian pada beberapa keadaan memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan khusus. Pemeriksaan yang diperlukan untuk mengetahui beratnya GGK adalah sebagai berikut :

• Darah lengkap : hemoglobin, leukosit, trombosit, differential count, hapusan darah.

• Kimia darah :

o Serum elektrolit (K, Na, Ca, P, Cl), ureum, kreatinin, serum albumin, total protein, asam urat.

o Analisa gas darah

o Kadar hormon paratiroid

• Pemeriksaan urin : albumin/protein, sedimen urin.

• Laju Filtrasi Glomerulus, dapat ditentukan dengan menggunakan rumus Haycock-Schwartz

LFG = ( K x h )

Pcr

o LFG : Laju Filtrasi Glomerulus

o K : konstanta sesuai dengan tinggi badan dan massa otot

o h : tinggi badan dalam cm

o Pcr : kadar kreatinin dalam plasma (µmol/L atau mg/dL)

o Nilai K berbeda menurut umur

Umur Pcr (mg/dL)

Preterm 0,27

Neonatus 0,37

Bayi ( 0-1 th ) 0,45

Anak ( 2-12 th) 0,55

Perempuan ( 13-21 th ) 0,55

Laki-laku ( 13-21 th) 0,70



• Foto tangan kiri dan pelvis untuk mengetahui bone age serta terjadinya osteodistrofi ginjal.

• Thorax foto, elektrokardiografi (EKG) dan echocardiografi untuk mengetahui terjadinya hipertrofi ventrikel.

• Pemeriksaan khusus yang diperlukan sesuai dengan penyakit yang mendasari :

o Ultrasonografi ginjal

o Voidingcystourography

o Radioisotop-Scans

o Antegrade pressure flow studies

o Intravenous urogram

o Urinalisis

o Pemeriksaan mikroskop urin, kultur

o Komplemen C3, C4, antinuklear antibodi, anti DNA antibodi, anti GBN antibodies, ANCA

o Biopsi ginjal



PENGOBATAN (1,2,3,4,6,9)

Penanganan penderita GGK meliputi penanganan :

• Penyakit yang mendasari

• Keadaan sebelum mencapai gagal ginjal terminal

• Gagal ginjal terminal

Penanganan penyakit yang mendasari misalnya pengobatan glomerulonefritis, reflux nefropati, uropati obstruktif, serta penyakit-penyakit sistemik yang mendasari.



Penanganan sebelum penderita mencapai gagal ginjal terminal meliputi :

A. Pengobatan secara konservatif

a) Pengobatan secara simptomatis, yaitu mengurangi gejala uremia seperti mual, muntah

b) Mengusahakan kehidupan penderita menjadi normal kembali, sehingga dapat melakukan aktifitas seperti sekolah dan kehidupan sosial

c) Mempertahankan pertumbuhan yang normal

d) Menghambat laju progresifitas menjadi gagal ginjal terminal

e) Mempersiapkan penderita dan keluarga untuk menjalani terapi pengganti ginjal misalnya dialisis, transplantasi ginjal

B. Pemberian nutrisi

Pemberian nutrisi penting untuk memperbaiki nutrisi dan pertumbuhan penderita. Pemberian nutrisi pada GGK:

a) Kalori yang adekuat mengacu pada recommended daily allowance (RDA) Tabel2.

b) Protein yang diberikan harus cukup untuk pertumbuhan namun tidak memperberat keadaan uremia. Tabel2.

c) Pemberian diet yang mengandung fosfat harus dibatasi untuk mencegah terjadinya hiperparatiroidism sekunder. Dianjurkan mempergunakan kalsium karbonat untuk mengikat fosfat.





Tabel 2. Kebutuhan kalori dan protein yang direkomendasikan untuk anak dengan gagal ginjal kronik



Umur Tinggi Energi Minimal Ca P

( cm) (Kkal) protein(g) (g) (g)



0-12 bulan 55 120/kg 2,2/kg 0,4 0,2

2-6 bulan 63 110/kg 2,0/kg 0,5 0,4

6-12 bulan 72 100/kg 1,8/kg 0,6 0,5

1-2 tahun 81 1000 18 0,7 0,7

2-4 tahun 96 1300 22 0,8 0,8

4-6 tahun 110 1600 29 0,9 0,9

6-8 tahun 121 2000 29 0,9 0,9

8-10 tahun 131 2200 31 1 1

10-12 tahun 141 2450 36 1,2 1,2

12-14tahun L 151 2700 40 1,4 1,4

P 154 2300 34 1,3 1,3

14-18tahun L 170 3000 45 1,4 1,4

P 159 2350 35 1,3 1,3

18-20tahun L 175 2800 4,2 0,8 0,8

P 163 2300 33 0,8 0,8



C. Pemberian cairan dan elektrolit

Pengaturan cairan pada penderita GGK harus mengacu pada status hidrasi penderita. Dilakukan evaluasi turgor kulit, tekanan darah, dan berat badan. Pada penderita GGK dengan poliuria pemberian cairan harus cukup adekuat untuk menghindari terjadinya dehidrasi. Harus ada keseimbangan antara jumlah cairan yang dikeluarkan (urin, muntah, dan lain-lain) dengan cairan yang masuk. Pemberian cairan juga harus memperhitungkan insensible water loss. Pembatasan cairan biasanya tidak diperlukan, sampai penderita mencapai gagal ginjal tahap akhir atau terminal.

D. Koreksi asidosis dengan pemberian NaHCO3 1-2 mmol/kg/hari peroral dalam dosis terbagi. Keadaan asidosis yang berlangsung lama akan mengganggu pertumbuhan. Pengobatan asidosis harus dimonitor. Dosis harus disesuaikan dengan analisis gas darah. Pada asidosis berat dilakukan koreksi dengan dosis 0,3 kgBB x (12 - HCO3- serum) mEq/L iv. Satu tablet NaHCO3 500 mg = 6 Meq HCO3-.

E. Osteodistrofi ginjal

Osteodistrofi ginjal dapat dicegah dengan pemberian kalsium, pengikat fosfat serta vitamin D. Dosis kalsium yang sering digunakan 100-300 mg/m2/hari. Vitamin D yang sering digunakan 1,25 OHvitD3 (rocatrol) dengan dosis 0,25 μg/hari (15-40 ng/kgBB/hari).

F. Hipertensi

Hipertensi pada GGK penyebabnya multifaktor. Pengobatan hipertensi meliputi non farmakologis yaitu diet rendah garam, menurunkan berat badan dan olah raga. Pengobatan farmakologis, obat yang sering dipergunakan yaitu : diuretik, calcium channel blocker, angiotensin receptor blocker, ACE (angiotensin converting enzym) inhibitor, beta blocker,agonis adrenergik alfa,vasodilator perifer.



Pengobatan hipertensi diawali dengan pemberian diuretik golongan furosemid 1-4 mg/kgBB/hari dibagi 1-4 dosis. Bila tidak berhasil dapat diberi antihipertensi calcium channel blocker ( nifedepin 1-2 mg/kg/hari dibagi 4 dosis ), ACE inhibitor ( kaptopril 0,3 mg/kg/kali diberikan 2-3 kali sehari), beta blocker (propanolol 1-10 mg/kg/hari), dan lain-lain. Pada hipertensi krisis dapat diberikan nifedipin secara sublingual 0,1mg/kg/kali maksimum 1 mg/kg/hari.

G. Anemia

Pengobatan anemia pada GGK dengan pemberian recombinant hormon eritropoietin (EPO), bila Hb ≤ 10 g/dl, Ht ≤ 30% dengan dosis 50 unit/kgBB subkutan dua kali seminggu, dengan catatan serum feritin > 100 μg/L. Dosis dapat ditingkatkan sampai target haemoglobin 10-12 mg/dL tercapai. Selain itu pemberian asam folat diberikan pada penderita dengan defisiensi asam folat, dosis 1-5 mg/hari (selama 3-4 minggu). Penderita dengan dialisis diberi dosis rumatan 1 mg/hari.

H. Gangguan jantung

Bila terjadi gagal jantung dan hipertensi, maka pengobatan diberikan furosemide secara oral atau intravena dan pemberian calcium channel blocker. Bila terjadi perikarditis dan uremia berat adalah indikasi dilakukan dialisis.

I. Gangguan pertumbuhan

Evaluasi pertumbuhan penderita GGK terutama dibawah umur 2 tahun dengan melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar kepala secara teratur. Sehingga adanya gangguan pertumbuhan dapat segera diketahui. Pemberian nutrisi yang adekuat dapat mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan. Terapi dengan recombinant growth hormon (rhGH) dapat diberikan untuk mempercepat pertumbuhan dengan dosis 0,35 mg/kgBB atau 30 UI/m2 perminggu dibagi 7 dosis. Pemberian rhGH pada anak-anak masa pubertal menunjukkan hasil yang memuaskan daripada anak-anak usia pubertal.



Penanganan penderita dengan gagal ginjal terminal dengan melakukan terapi pengganti ginjal meliputi transplantasi ginjal dan dialisis.

a) Transplantasi ginjal merupakan pilihan utama pada GGT. Namun sebelum dilakukan transplantasi ginjal sering penderita GGT harus menjalani dialisis terlebih dahulu. Transplantasi ginjal yang dilakukan tanpa dialisis disebut pre-emptive transplantation (1).

b) Dialisis dilakukan pada penderita dengan indikasi sebagai berikut :

• Gejala-gejala uremia yaitu letargi, anoreksia, muntah-muntah.

• Hiperkalemia yang tidak respon dengan koreksi

• Overload cairan

Ada 2 macam dialisis yaitu :

• Peritoneal dialisis

• Hemodialisis

Pada anak peritoneal dialisis lebih disukai daripada hemodialisis. Saat ini tindakan dialisis cenderung dilakukan lebih awal yaitu bila LFG kurang dari 15 mL/menit/1,73 m2 luas permukaan tubuh.



DAFTAR PUSTAKA

1. Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 427-46.

2. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal Ginjal Kronik. Dalam Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO Eds. Buku Ajar Nefrologi Anak 2nd ed. Bali penerbit FKUI Jakarta, 2002; 509-30.

3. Fogo AB, Kon V. Pathophysiology of progressive renal disease. In Avner ED, Harmon WE, Niaudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1269-85.

4. Kei-Chiu TN, Chiu MC. Pre-Renal Replacement Program : Conservative Management of Chronic Kidney Disease. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 247-52.

5. Yap HK. Anemia, Renal Osteodystrophy, Growth Failure in Chronic Renal Failure. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 253-61.

6. Winearls CG. Clinical Evaluation and Manifestation of chronic Renal Failure. In Johnson RJ, Feecally J Eds. Comprehensive Clinical Nephrology. Harcourt Publishers Limited London, 2000; section 14. 68 : 1-14.

7. Fine RN, Whyte DA, Baydstrun II. Conservative management of chronic renal insufficiency. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1291-305.

8. Kuizon BD, Sausky IB. Renal Osteodistrophy. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1291-305.

9. Goonasekera CDA, Dillon MJ. Thhe child with hypertension. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 151-61.
BATASAN

Adalah suatu keadaan klinis, terjadi penurunan fungsi ginjal secara mendadak dengan akibat kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeotasis tubuh hilang, dan disertai gejala-gejala sebagai akibat :

1. Gangguan keseimbangan air dan elektrolit

2. Gangguan keseimbangan asam-basa

3. Gangguan eliminasi limbah metabolisme misalnya ureum, creatinin

Gagal ginjal akut biasanya disertai anuria, oliguria, produksi urin normal maupun poliuria.



ETIOLOGI

Berbagai faktor penyebab Gagal Ginjal Akut dapat dikatagorikan menjadi : Faktor Prarenal (Prerenal Failure), Faktor Renal (Intrinsic Renal Failure) dan Faktor Pasca Renal (Postrenal Failure).

a. Gagal Ginjal Prarenal

Penyebab utama terjadi Prarenal Failure adalah hipoperfusi ginjal yang disebabkan karena dehidrasi, hipoalbuminemia, luka bakar, gagal jantung.

b. Gagal Ginjal Renal

Pada tipe ini Gagal Ginjal Akut timbul akibat kerusakan jaringan ginjal. Kerusakan dapat terjadi pada glomeruli atau tubuli sehingga faal ginjal langsung terganggu. Dapat pula terjadi karena hipoperfusi prarenal yang tak teratasi sehingga mengakibatkan iskemia, serta nekrosis jaringan ginjal, seperti misalnya glomerulonefritis, gangguan vaskularisasi ginjal, nekrosis tubular akut, pielonefritis.

c. Gagal Ginjal Pascarenal

Semua faktor pascarenal yang menyebabkan obstruksi pada saluran kemih yang bersifat bilateral, misalnya : kristal, batu, tumor, bekuan darah, trauma, kelainan bawaan.



PATOFISIOLOGI

GGA adalah suatu proses multifaktor yang meliputi gangguan hemodinamik renal, suseptibel nefron yang spesifik, obstruksi tubulus renalis, gangguan sel dan metabolik. Vaso konstriksi diduga merupakan faktor utama yang mengganggu hemodinamik renal yang dapat menyebabkan terjadinya GGA. Gangguan pada epitel tubulus ginjal dapat mengakibatkan pengeluaran komponen vasoaktif yang dapat mengakibatkan peningkatan resistensi pembuluh darah kortek. Keadaan ini dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal dan mengganggu tubulus ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus terjadi akibat vaso konstriksi pembuluh darah afferen dan efferen, sehingga dapat menurunkan produksi urin. Komponen vasoaktif yang dapat menyebabkan iskemia dan toksik pada ginjal, meliputi angiotensin, prostaglandin, endotelin, nitric oxide. Walaupun vasokonstriksi diduga sebagai penyebab utama GGA, namun pemberian vaso dilator tidak terbukti dapat memperbaiki fungsi ginjal.

Gangguan sel dan metabolik pada ginjal melibatkan molekul oksigen reaktif yang dapat ditemukan pada beberapa penyakit ginjal. Molekul oksigen yang paling reaktif adalah radikal bebas meliputi hidroksil radikal dan anion superoksid. Metabolit oksigen reaktif dapat menyebabkan terjadi iskemia oleh karena terjadi reaksi dengan nitric oxide sintetase.

Tubulus ginjal merupakan tempat utama penggunaan energi pada ginjal. Sehingga tubulus mudah mengalami kerusakan bila terjadi iskemia atau oleh obat obat nefrotoksik. Struktur dan fungsi sel epitel mengalami kerusakan, sehingga terjadi peningkatan kalsium dalam sel, aktifasi fosfolipase, polaritas menghilang, terjadi pengelupasan skeleton dari kortek. Kematian sel yang terjadi setelah iskemia atau proses toksik, sebagai akibat nekrosis atau apoptosis dan gangguan gene yang menyebabkan kerusakan DNA. Apoptosis terjadi akibat ada bahan yaitu tumor necrosis factor dan inhibitor yaitu growth faktor, walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.

GGA pasca renal, disebabkan obstruksi aliran urin, dapat bersifat kongenital maupun didapat. Kelainan kongenital yang sering menyebabkan GGA adalah obstruksi katup uretra posterior. Obstruksi pasca renal yang dimaksud adalah obstruksi bagian distal nefron misalnya ureter. Namun demikian obstruksi pada tubulus misalnya akibat kristal jengkol, juga dimasukkan obstruksi pasca renal. Obstruksi kristal jengkol dapat terjadi mulai dari uretra, ureter dan pelvis.



GEJALA KLINIS

Keluhan dan gejala Gagal Ginjal Akut pada anak tidak khas. Gagal Ginjal Akut hendaknya dipertimbangkan pada anak-anak dengan gejala-gejala sebagai berikut :

1. Gejala-gejala non-spesifik dari uremia : mual, muntah, anoreksia, drowsiness atau kejang.

2. Oliguria atau anuria (< 300 ml/m2/hari atau <1 ml/kg BB/jam)

3. Hiperventilasi karena asidosis.

4. Sembab.

5. Hipertensi.

6. Kelainan sedimen urine, misalnya : hematuria, proteinuria.

7. Tanda-tanda obstruksi saluran kemih, misalnya : pancaran urine yang lemah, kencing menetes atau adanya masa pada palpasi abdomen.

8. Keadaan-keadaan yang merupakan faktor predisposisi Gagal Ginjal Akut, misalnya diare dengan dehidrasi berat, penggunaan aminoglikosida, khemoterapi pada leukemia akut.



PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

Apabila dicurigai terjadinya Gagal Ginjal Akut, segera lakukan pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin serum. Kreatinin serum merupakan gambaran dari Laju Filtrasi Glomerulus (LFG), yang dapat diprakirakan dengan menggunakan rumus :









DIAGNOSA BANDING

Perlu segera dibedakan jenis Gagal Ginjal Akut prarenal, renal atau pascarenal oleh karena masing-masing mempunyai aspek pengobatan yang berbeda. Gagal Ginjal pascarenal (obstruksi) paling mudah dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi. Untuk membedakan Gagal Ginjal prarenal atau intrarenal, dapat dilakukan 2 macam cara pemeriksaan :

1. Perbedaan secara laboratorium :

Urine Prarenal Renal

Volume Sedikit Sedikit

Protein Negatif Sering positif

Sedimen Normal Torak granular, eritrosit

Berat jenis > 1020 1010 – 1015

Na urine (mmol/l) < 10 > 25

Urea urine (mmol/l) > 250 < 160

Osmolalitas (mmol/l) > 500 200¬¬¬¬¬¬– 350

Ratio osmolalitas U/P > 1.3 < 1,1

FENa < 1 > 1



2. Perbedaan secara pemberian terapi :

Cara ini hendaknya dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya overloading atau dehidrasi.

a. Terapi cairan : dengan memberikan infus garam isotonik atau Ringer’s Lactate sebanyak 20 ml/kg berat badan selama 1 jam, dilanjutkan pemberian diuretik. Bila terjadi diuresis > 2 ml/kg BB/jam berarti Gagal Ginjal Prarenal.

b. Diuretik : boleh dilakukan bila faktor prarenal telah dikoreksi :

1. Furosemide 1-2 mg/kg BB/kali, diberikan 2 kali (selang 4 jam).

Efek samping : eksaserbasi gagal ginjal dan ototoksisitas terutama bila diberikan dalam dosis tinggi dan keadaan asidosis metabolik.

2. Mannitol 0,5-1 gram/kg bb diinfus dalam 10-20 menit .

Efek samping : meningkatkan volume darah dan sembab paru.

Bila terjadi diuresis > 2 ml/kg/jam pasca terapi berarti suatu Gagal Ginjal Prarenal. Bila diuresis < 2 ml/kg/jam berarti suatu Gagal Ginjal Intrarenal.





PENATALAKSANAAN

1. Cairan :

Faktor-faktor prarenal (penyebab dehidrasi) harus segera dikoreksi dengan pemberian cairan yang sesuai dan adekuat. Pemberian cairan pada Gagal Ginjal Akut harus hati-hati untuk menghindarkan terjaidnya overload cairan. Dapat digunakan rumus, yaitu jumlah cairan yang diperlukan diperhitungkan terhadap jumlah kalori yang dikeluarkan:



Kebutuhan cairan sehari = 25 ml per 100 cal yang dikeluarkan + jumlah volume urine.



Kebutuhan Kalori Sehari :

Berat Badan Kebutuhan Kalori Sehari

3-10 kg 100 cal/kg BB

11-20 kg 1000 cal + 50 cal/kg BB diatas 10 kg

> 20 kg 1500 cal + 20 cal/kg BB diatas 20 kg



Pemantauan :

a. Penurunan berat badan 0,5-1,0% tiap hari menunjukkan pemberian cairan yang tepat.

b. Panurunan kadar Natrium menunjukkan overhidrasi.

c. Pemantauan dengan CVP sangat dianjurkan.

2. Asidosis metabolik

Asidosis harus dikoreksi apabila kadar HCO3 < 12 mEq/L dan pH darah < 7,2. Jumlah Bikarbonat yang diperlukan = (HCO3 ideal – HCO3 aktual) x berat badan (kg) x 0,3. Bila pemberian ini tidak dimungkinkan, dapat diberi koreksi buta 2-3 mEq/kg bb/hari setiap 12 jam. Bila dengan koreksi tersebut tidak menunjukkan hasil, dialisis merupakan indikasi.

3. Hiperkalemia

Bila terdapat tanda-tanda hiperkalemia berat (ada perubahan-perubahan pada EKG dan kadar K+ serum > 7 mEq/L), perlu segera diberikan :

a. Glukonas kalsikus 10%, 0.5 ml/kg BB intravena dalam 10-15 menit. Tujuannya untuk mengatasi efek toksik K+ pada jantung.

b. Sodium Bicarbonate 7,5%, 2,5 mEq/kg BB intravena selama 10-15 menit, untuk meningkatkan ph darah sehingga terjadi intracellular shift sehingga kadar K+ serum turun.

c. Glucosa 0.5 g/kg bb per infus selama 30 menit ditambah insulin 0,1 unit/kg bb atau 0,2 unit/g glukosa untuk menggerakkan K+ bersama glukosa ke dalam sel masuk ke dalam proses glikolisis.

d. Ion exchange resin untuk mengeliminasi K+ dari tubuh.

4. Hiperfosfatemia dan Hipokalsemia :

Pada gagal ginjal pencegahan dilakukan dengan mempertahankan kadar kalsium serum antara 9.0-10.0 mg/100 ml melalui pemberian suplemen kalsium yang cukup. Bila timbul tetani akibat hipokalsemia, perlu diberi glukonas kalsikus 10% i.v. 0,5 ml/kg bb pelan pelan 5-10 menit, dilanjutkan dosis rumatan kalsiumoral 1-4 gram/hari. Kadar fosfat serum dipertahankan antara 4.0-5.0 mg/100 ml dengan diit rendah fosfat. Dapat pula dilakukan pengikatan fosfat dalam usus dengan menggunakan kalcium karbonate 50 mg/kg bb/hari, laktat atau glukonat sebagai phosphate binder. Vitamin D perlu disertakan dalam diit dan sebaiknya diberikan 1,25 (OH)2 cholecalciferol sebagai vitamin D3 aktif dengan dosis 0.5-1.0 microgram per hari.

5. Anemia

Anemia ringan terjadi karena produksi erythropoetin menurun dan erythropoesis tak sempurna sehingga produksi sel darah merah tak sempurna serta life-span memendek. Transfusi tidak dianjurkan bila gejala-gejala klinis anemia tak terlihat atau Hb masih di atas 6 g/dl, karena transfusi dapat memperberat hiperkalemia, hipertensi dan payah jantung. Bila Hb < 6 g/dl atau Ht < 20%, tranfusi dilakukan dengan mempergunakan pack red cell (10 ml/kg bb) dengan tetesan lambat 4-6 jam (lebih kurang 10 tetes/menit). Pemberian erythropoitin rekombinan perlu dipertimbangkan bila Hb  10 g/dl, Ht  30%, dengan catatan cadangan besi adekuat: Feritin > 100 g/L, saturasi transferin > 20%, serta tidak ada infeksi berat.

6. Hipertensi

Penyebabnya biasanya fluid overload atau kelainan parenkhim ginjal. Terapi dengan restriksi cairan dan natrium, pemberian diuretik, dan bila perlu diberikan antihipertensi, misalnya : kaptopril 0.3 mg/kg bb/kali diberikan 2-3 kali sehari. Obat anti hipertensi lain adalah Hydralazine (1-5 mg/kg BB/hari), Methyldopa (10-50 mg/kg BB/hari), Propranolol (1-10 mg/kg BB/hari). Pada hipertensi krisis dapat diberikan nifedipin sublingua 0.1 mg/kg bb/kali dengan pemberian maksimum 1 mg/kg bb/hari. Nitroprusid natrium 0,5 mg/kg bb/menit juga dapat diberikan pada krisis hipertensi.

7. Kejang

Timbul karena hipervolemia, hipokalsemia, hipertensi atau BUN yang meningkat dengan cepat. Kejang dapat pula timbul pasca transfusi darah atau albumin, karena terjadi ekspansi secara tiba-tiba dari fluid compartment. Bila perlu diberi obat-obat anti kejang, yaitu diazepam 0,3-0,5 mg/kg bb i.v dapat diulang tiap 15 menit seperti menangani kejang pada umumnya, dan dilanjutkan rumatan dengan phenobarbital 4-8 mg/kg bb/hari.

8. Infeksi

Infeksi biasanya menyerang saluran kemih, pernapasan dan pencernaan. Pengobatan dengan antibiotik yang sesuai harus segera diberikan. Dosis harus disesuaikan dengan turunnya fungsi ginjal. Sebaiknya pencegahan dilakukan, antara lain dengan cara menghindari tindakan-tindakan yang tidak perlu, penanganan secara aseptik dan steril.

9. Nutrisi

Prinsip nutrisi yang harus diberikan adalah diit tinggi kalori rendah protein, dengan jumlah kebutuhan kalori disesuaikan dengan umur dan berat badan. Jumlah kalori ideal 60-100 cal/kg BB/hari diberikan terutama dalam bentuk glukosa dan lemak. Protein dibatasi antara 0.85-1.0 gram/kg BB/hari dalam bentuk protein hewani yang bernilai biologik tinggi. Sebaiknya disertakan pula vitamin.

10. Edema paru

Edema paru merupakan keadaan yang sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat. Tindakan yang dilakukan dengan memberikan furosemid i.v. 1 mg/kg bb disertai torniket dan flebotomi. Di samping itu dapat diberi morfin 0,1 mg/kg bb. Bila tindakan tersebut tidak berhasil dalam waktu 20 menit, maka dialisis harus segera dilakukan.

11. Dialisis

Dilakukan apabila dengan terapi konservatif tidak berhasil. Indikasi dialisis pada anak dengan GGA ialah :

1. Kadar ureum darah > 200 mg%

2. Hiperkalemia > 7,5mEq/L

3. Bikarbonas serum < 12 mEq/L

4. Adanya gejala gejala overhidrasi : edema paru, dekompensasi jantung, hipertensi yang tidak dapat diatasi dengan obat.

5. Perburukan keadaan umum dengan gejala uremia berat : perdarahan, kesadaran menurun sampai koma.



DAFTAR PUSTAKA

1. Andreoli SP, 1999. Management of Acute Renal Failure. In Barratt TM, Avner ED, Harmon WE. 4th ED. Baltimor, Maryland USA : Lippincott William & Wilkins; 1119-1133.

2. Alatas H, 2002. Gagal ginjal akut. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. Buku Ajar Nefrologi Anak. 2nd .Ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 490-508.

3. Fitzpatrick MM, Kerr SJ, Bradbury MG, 2003. Acute renal failure. In : Postlethwaite R, Webb N. Clinical Paediatric Nephrology. 3rd Ed. New York : Oxford University Press; 405-425.

4. Gauthir B, Edelmann JR, CM, Barnett HL, 1982. Management of Acute Renal Failure. In : Ganthier B, et al eds. Nephrology and Urology for the Pediatrician. 1st ed. Boston; Little, Brown and Company, 251-261.

5. Perhimpunan nefrologi Indonesia 2001. Konsensus manajemen anemia pada pasien Gagal Ginjal Kronik. Jakarta; PERNEFRI, 15-17.

6. Yap HK, 1989. Acute renal failure. In : Yip WCL, Tay JSH eds. A Practical Manual on Acute Paediatrics. 1st. Ed. Singapore : PG Publishing ; 273-288.

Sabtu, 20 Maret 2010

BATASAN

Pneumonia dalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus, mikoplasma, jamur atau bahan kimia/benda asing yang teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan ventilasi dengan perfusi (ventilation perfusion mismatch).



PATOFISIOLOGI

Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme : filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing melalui refleks batuk, pembersihan ke arah kranial oleh mukosilier, fagositosis kuman oleh makrofag alveolar, netralisasi kuman oleh substansi imun lokal dan drainase melalui sistem limfatik. Faktor predisposisi pneumonia : aspirasi, gangguan imun, septisemia, malnutrisi, campak, pertusis, penyakit jantung bawaan, gangguan neuromuskular, kontaminasi perinatal dan gangguan klirens mukus/sekresi seperti pada fibrosis kistik , benda asing atau disfungsi silier.

Mikroorganisme mencapai paru melalui jalan nafas, aliran darah, aspirasi benda asing, transplasental atau selama persalinan pada neonatus. Umumnya pneumonia terjadi akibat inhalasi atau aspirasi mikroorganisme, sebagian kecil terjadi melalui aliran darah (hematogen). Secara klinis sulit membedakan pneumonia bakteri dan virus. Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia tersering pada bayi dan anak kecil. Pneumonia lobaris lebih sering ditemukan dengan meningkatnya umur. Pada pneumonia yang berat bisa terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis respiratorik, asidosis metabolik dan gagal nafas.



DIAGNOSIS

Anamnesis

- Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus menerus, sesak, kebiruan disekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi) dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunanan kesadaran, kejang atau kembung sehingga sulit dibedakan dengan meningitis, sepsis atau ileus.

Pemeriksaan fisis

- Tanda yang mungkin ada adalah suhu ≥ 390 C, dispnea : inspiratory effort ditandai dengan takipnea, retraksi (chest indrawing), nafas cuping hidung dan sianosis. Gerakan dinding toraks dapat berkurang pada daerah yang terkena, perkusi normal atau redup. Pada pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar suara nafas utama melemah atau mengeras, suara nafas tambahan berupa ronki basah halus di lapangan paru yang terkena.

Pemeriksaan penunjang

- Pada pemeriksaan darah tepi dapat terjadi leukositosis dengan hitung jenis bergeser ke kiri.

- Bila fasilitas memungkinkan pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan keadaan hipoksemia (karena ventilation perfusion mismatch). Kadar PaCO2 dapat rendah, normal atau meningkat tergantung kelainannya. Dapat terjadi asidosis respiratorik, asidosis metabolik, dan gagal nafas.

- Pemeriksaan kultur darah jarang memberikan hasil yang positif tetapi dapat membantu pada kasus yang tidak menunjukkan respon terhadap penanganan awal.

- Pada foto dada terlihat infiltrat alveolar yang dapat ditemukan di seluruh lapangan paru. Luasnya kelainan pada gambaran radiologis biasanya sebanding dengan derajat klinis penyakitnya, kecuali pada infeksi mikoplasma yang gambaran radiologisnya lebih berat daripada keadaan klinisnya. Gambaran lain yang dapat dijumpai :

o Konsolidasi pada satu lobus atau lebih pada pneumonia lobaris

o Penebalan pleura pada pleuritis

o Komplikasi pneumonia seperti atelektasis, efusi pleura, pneumomediastinum, pneumotoraks, abses, pneumatokel
BATASAN
Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mikobakterium tuberkulosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.

PATOGENESIS
Penularan TBC terjadi karena menghirup udara yang mengandung Mikobakterium tuberkulosis (M.Tb), di alveolus M.Tb akan difagositosis oleh makrofag alveolus dan dibunuh. Tetapi bila M.Tb yang dihirup virulen dan makrofag alveolus lemah maka M.Tb akan berkembang biak dan menghancurkan makrofag. Monosit dan makrofag dari darah akan ditarik secara kemotaksis ke arah M.Tb berada, kemudian memfagositosis M.Tb tetapi tidak dapat membunuhnya. Makrofag dan M.Tb membentuk tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid, makrofag yang menyatu (sel raksasa Langhans) dan limfosit. Tuberkel akan menjadi tuberkuloma dengan nekrosis dan fibrosis di dalamnya dan mungkin juga terjadi kalsifikasi. Lesi pertama di alveolus (fokus primer) menjalar ke kelenjar limfe hilus dan terjadi infeksi kelenjar limfe, yang bersama-sama dengan limfangitis akan membentuk kompleks primer. Dari kelenjar limfe M.Tb dapat langsung menyebabkan penyakit di organ-organ tersebut atau hidup dorman dalam makrofag jaringan dan dapat aktif kembali bertahun-tahun kemudian. Tuberkel dapat hilang dengan resolusi atau terjadi kalsifikasi atau terjadi nekrosis dengan masa keju yang dibentuk oleh makrofag. Masa keju dapat mencair dan M.Tb dapat berkembang biak ekstra selular sehingga dapat meluas di jaringan paru dan terjadi pneumonia, lesi endobronkial, pleuritis atau Tb milier. Juga dapat menyebar secara bertahap menyebabkan lesi di organ-organ lainnya .
BATASAN
Asma secara klinis praktis adalah adanya gejala batuk dan/atau mengi berulang, terutama pada malam hari (nocturnal), reversible (dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan) dan biasanya terdapat atopi pada pasien dan atau keluarganya.
Yang dimaksud serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala-gejala batuk, sesak nafas, mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala-gejala tersebut.

Penggolongan asma tergantung pada derajat penyakitnya (aspek kronik) dan derajat serangannya (aspek akut). Berdasar derajat penyakitnya, asma dibagi menjadi
(1) asma episodik jarang,
(2) asma episodik sering dan
(3) asma persisten.
Berdasarkan derajat serangannya, asma dikelompokkan menjadi
(1) serangan asma ringan,
(2) sedang dan
(3) berat.
BATASAN
Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran nafas kecil (bronkiolus) yang terjadi pada anak < 2 tahun dengan insidens tertinggi pada usia sekitar 2-6 bulan dengan penyebab tersering respiratory sincytial virus (RSV), diikuti dengan parainfluenzae dan adenovirus. Penyakit ditandai oleh sindrom klinik yaitu, napas cepat, retraksi dada dan wheezing.



PATOFISIOLOGI

Mikroorganisme masuk melalui droplet akan mengadakan kolonisasi dan replikasi di mukosa bronkioli terutama pada terminal bronkiolus sehingga akan terjadi kerusakan/nekrosis sel-sel bersilia pada bronkioli. Respon imun tubuh yang terjadi ditandai dengan proliferasi limfosit, sel plasma dan makrofag. Akibat dari proses tersebut akan terjadi edema sub mukosa, kongesti serta penumpukan debris dan mukus (plugging), sehingga akan terjadi penyempitan lumen bronkioli. Penyempitan ini mempunyai distribusi tersebar dengan derajat yang bervariasi (total/sebagian). Gambaran yang terjadi adalah atelektasis yang tersebar dan distensi yang berlebihan (hyperaerated) sehingga dapat terjadi gangguan pertukaran gas serius, gangguan ventilasi/perfusi dengan akibat akan terjadi hipoksemia (PaO2 turun) dan hiperkapnea (Pa CO2 meningkat). Kondisi yang berat dapat terjadi gagal nafas.

DIAGNOSIS
Anamnesis
Anak usia di bawah 2 tahun dengan didahului infeksi saluran nafas akut bagian atas dengan gejala batuk, pilek, biasanya tanpa demam atau hanya subfebris. Sesak nafas makin hebat dengan nafas dangkal dan cepat.
Pemeriksaan fisis
Dapat dijumpai demam, dispne dengan expiratory effort dan retraksi. Nafas cepat dangkal disertai dengan nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut, gelisah. Terdengar ekspirium memanjang atau mengi (wheezing). Pada auskultasi paru dapat terdengar ronki basah halus nyaring pada akhir atau awal inspirasi. Suara perkusi paru hipersonor. Jika obstruksi hebat suara nafas nyaris tidak terdengar, napas cepat dangkal, wheezing berkurang bahkan hilang.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah tepi tidak khas. Pada pemeriksaan foto dada AP dan lateral dapat terlihat gambaran hiperinflasi paru (emfisema) dengan diameter anteroposterior membesar pada foto lateral serta dapat terlihat bercak konsolidasi yang tersebar. Analisis gas darah dapat menunjukan hiperkarbia sebagai tanda air trapping, asidosis respiratorik atau metabolik. Bila tersedia, pemeriksaan deteksi cepat dengan antigen RSV dapat dikerjakan.
BATASAN

Keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam

I. Diare Akut :

Terjadi akut dan berlangsung paling lama 3-5 hari.

II. Diare berkepanjangan :

Berlangsung lebih dari 7 hari.

III. Diare kronik :

Berlangsung lebih dari 14 hari.

I. DIARE AKUT

1.1. PatofisioIogi dan Patogenesis

Ketidakseimbangan pengangkutan air dan elektrolit berperan penting pada patogenesis diare, terjadi perubahan absorbsi dan sekresi cairan dan elektrolit, yang dapat meningkatkan terjadinya dehidrasi.

Peningkatan pengeluaran cairan dapat terjadi oleh karena :

 Sekresi yang meningkat (secretory diarrhea), pada diare infeksi.

 Osmotik oleh karena adanya bahan-bahan dalam lumen usus.

 Moti1itas usus yang meningkat.

1.2. GejaIa Klinis

Frekuensi buang air besar bertambah dengan bentuk dan konsistensi yang lain dari biasanya dapat cair, berlendir, atau berdarah, dapat juga disertai gejala lain, anoreksia panas, muntah atau kembung. Dapat disertai gejala komplikasi, gangguan elektrolit, dehidrasi, gangguan gas darah/asidosis.

1.3. Penyebab

 Enteral : Infeksi enteral

Intoksikasi makanan

 Parenteral : Infeksi parenteral (ISPA, saluran kemih, OMA, dll).

Infeksi Enteral :

- Virus: Rotavirus, adenovirus, dan lain-lain

- Bakteri : Salmonella, shigella, E-Coli, Yersinia, Campylobacter.

- Parasit, Protozoa (ent. Histolitika)

- Jamur . dll

1.4. Komplikasi

Awal :

Gangguan keseimbangan air, elektrolit dan asam basa, intoleransi klinik akut terhadap karbohidrat dan lemak.

Lambat :

- Diare berkepanjangan (prolonged diarrhea)

- Intoleransi klinik hidrat arang yang berkepanjangan.

- Diare persisten

Diare kronik :

- Sindrom postenteritis

- Diare intraktabel