Senin, 29 Maret 2010


BATASAN
Obesitas adalah penimbunan jaringan lemak secara berlebihan akibat ketidak seimbangan antara asupan energi (energy intake)  dengan pemakaian energi  (energy expenditure).

PATOFISIOLOGI
 Obesitas terjadi karena adanya  kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Gangguan keseimbangan energi ini dapat disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas primer) sebagai akibat nutrisional (90%) dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat adanya kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik (meliputi 10%).
Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis,  yaitu : pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan adipose,  usus dan jaringan otot). Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. 
Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa lapar.
Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan  energi.
               Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptide –Y (NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan.

GEJALA KLINIS
Berdasarkan distribusi jaringan lemak, dibedakan menjadi :
-  apple shape body (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian dada dan pinggang)

- pear shape body/gynecoid  (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian pinggul dan paha)
Secara klinis mudah dikenali, karena mempunyai ciri-ciri yang khas, antara lain :
-  wajah bulat dengan pipi tembem dan dagu rangkap
-  leher relatif pendek
-  dada membusung dengan payudara membesar
-  perut membuncit (pendulous abdomen) dan striae abdomen
-  pada anak laki-laki : Burried penis, gynaecomastia
-  pubertas dini
- genu valgum (tungkai berbentuk X) dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling          menempel dan bergesekan yang dapat menyebabkan laserasi kulit
Lamongan”Kamis (18/02/2010), pukul 09.45, Instalasi Gawat Darurat RSML menerima telepon dari Kantor Gedung Dakwah PD Muhammadiyah Lamongan, melaporkan bahwa ada korban keracunan makanan yang perlu dilarikan ke RSML. Para korban adalah peserta pertemuan PCM se Kab Lamongan yang diadakan di gedung tersebut. Dengan siaga, petugas IGD segera berkoordinasi dengan petugas ambulance untuk menjemput para korban. Setidaknya sekitar 30 orang korban keracunan masaal dibawa ke RSML. Kontan saja, kondisi ini mematik kepanikan dari para petugas. Kepala IGD melapor kejadian tersebut kepada incident commander (komandan kejadian) untuk menetapkan status RS dalam keadaan SIAGA Bencana.
 Kemudian, Setiba di IGD, korban segera dilakukan triage, yang kode kuning dan hijau dilarikan ke Instalasi Rawat Jalan dan yang berkode biru dan merah, dirawat di IGD. Selanjutnya para korban diterapi, yang memerlukan perawatan rawat inap segera dimasukkan ke bangsal rawat inap. Masalah lain timbul, ternyata kapasitas normal tempat tidur RSML sudah dalam kondisi terisi penuh.  Dengan sigap Incident Commander memerintahkan kepada petugas untuk menyiapkan ruangan cadangan (surge capacity), akhirnya para korban dirawat ke ruang auditorium lantai 3.
Suasana di RSML sangat crowded, teriakan para korban yang kesakitan, keluarga korban yang turut panik, pengunjung lain yang ingin melihat suasana serta puluhan wartawan dari berbagai mediapun tidak ingin ketinggalan meliput kejadian tersebut. Kesemuanya itu, menambah ketegangan para petugas yang terlibat.
Semua korban tersebut, akhirnya bisa tertangani dengan kesigapan oleh semua petugas RSML. Tidak hanya petugas IGD, dokter dan paramedis, tapi juga dibantu oleh petugas administrasi, keamanan, petugas kebersihan hingga petugas parkir. Sehingga sekitar pukul 12.30 WIB, situasi yang mencekam dan Siaga tersebut bisa kembali normal.”
Pengendalian Tuberkulosis (TB) di Indonesia telah mendekati target Millenium Development Goals (MDGs).
Pada tahun 2008 prevalensi TB di Indonesia mencapai 253 per 100.000 penduduk, sedangkan target MDGs pada tahun 2015 adalah 222 per 100.000 penduduk.
Sementara itu, angka kematian TB pada tahun 2008 telah menurun tajam menjadi 38 per 100.000 penduduk dibandingkan tahun 1990 sebesar 92
per 100.000 penduduk. Hal itu disebabkan implementasi strategi DOTS di Indonesia telah dilakukan secara meluas dengan hasil cukup baik.

Pada tahun 2009 angka cakupan penemuan kasus mencapai 71 % dan angka keberhasilan pengobatan mencapai 90 %. Keberhasilan ini perlu ditingkatkan
agar dapat menurunkan prevalensi, insiden dan kematian akibat TB. Demikian sambutan Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH saat membuka
Seminar Sehari TB dalam rangka peringatan Hari TB Sedunia 2010. Hadir dalam acara ini Menteri Koordinator Kesejahteraan
Rakyat, Pejabat Eselon I dan II Jajaran Pemerintah, Kepala Perwakilan WHO, Ketua PPTI (Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia)
serta undangan lainnya.

Minggu, 21 Maret 2010

BATASAN

Infeksi saluran air kemih adalah infeksi yang terjadi pada saluran air kemih, mulai dari uretra, buli-buli, ureter, piala ginjal sampai jaringan ginjal.

Infeksi ini dapat berupa :

- Pielonefritis akut

- Pielonefritis kronik

- Infeksi saluran air kemih berulang

- Bakteriuria bermakna

- Bakteriuria asimtomatis



ETIOLOGI

Kuman penyebab infeksi saluran air kemih :

- Kuman gram negatif : E.Coli (85%), Klebsiela, Entero-bakter, Proteus, dan Pseudomonas.

- Stafilokokus Aureus, Streptokokus fecalis, kuman anaerob, TBC, jamur, virus dan bentuk L bakteri protoplas.



PATOFISIOLOGI

Infeksi dapat terjadi melalui penyebaran hematogen (neonatus) atau secara asending (anak-anak). Faktor predisposisi infeksi adalah fimosis, alir-balik vesikoureter (refluks vesikoureter), uropati obstruktif, kelainan kongenital buli-buli atau ginjal, dan diaper rash. Patogenesis infeksi saluran kemih sangat kompleks, karena tergantung dari banyak faktor seperti faktor pejamu (host) dan faktor organismenya. Bakteri dalam urin dapat berasal dari ginjal, pielum, ureter, vesika urinaria atau dari uretra.

Beberapa faktor predisposisi ISK adalah obstruksi urin, kelainan struktur, urolitiasis, benda asing, refluks atau konstipasi yang lama. Pada bayi dan anak anak biasanya bakteri berasal dari tinjanya sendiri yang menjalar secara asending. Bakteri uropatogenik yang melekat pada pada sel uroepitelial, dapat mempengaruhi kontraktilitas otot polos dinding ureter, dan menyebabkan gangguan peristaltik ureter. Melekatnya bakteri ke sel uroepitelial, dapat meningkatkan virulensi bakteri tersebut.

Mukosa kandung kemih dilapisi oleh glycoprotein mucin layer yang berfungsi sebagai anti bakteri. Robeknya lapisan ini dapat menyebabkan bakteri dapat melekat, membentuk koloni pada permukaan mukosa, masuk menembus epitel dan selanjutnya terjadi peradangan. Bakteri dari kandung kemih dapat naik ke ureter dan sampai ke ginjal melalui lapisan tipis cairan (films of fluid), apalagi bila ada refluks vesikoureter maupun refluks intrarenal. Bila hanya buli buli yang terinfeksi, dapat mengakibatkan iritasi dan spasme otot polos vesika urinaria, akibatnya rasa ingin miksi terus menerus (urgency) atau miksi berulang kali (frequency), sakit waktu miksi (dysuri). Mukosa vesika urinaria menjadi edema, meradang dan perdarahan (hematuria).

Infeksi ginjal dapat terjadi melalui collecting system. Pelvis dan medula ginjal dapat rusak, baik akibat infeksi maupun oleh tekanan urin akibat refluks berupa atrofi ginjal. Pada pielonefritis akut dapat ditemukan fokus infeksi dalam parenkim ginjal, ginjal dapat membengkak, infiltrasi lekosit polimorfonuklear dalam jaringan interstitial, akibatnya fungsi ginjal dapat terganggu. Pada pielonefritis kronik akibat infeksi, adanya produk bakteri atau zat mediator toksik yang dihasilkan oleh sel yang rusak, mengakibatkan parut ginjal (renal scarring).



GEJALA KLINIS

Gejala klinis infeksi saluran air kemih bagian bawah secara klasik yaitu nyeri bila buang air kecil (dysuria), sering buang air kecil (frequency), dan ngompol. Gejala infeksi saluran kemih bagian bawah biasanya panas tinggi, gejala gejala sistemik, nyeri di daerah pinggang belakang. Namun demikian sulit membedakan infeksi saluran kemih bagian atas dan bagian bawah berdasarkan gejala klinis saja.

Gejala infeksi saluran kemih berdasarkan umur penderita adalah sebagai berikut :

0-1 Bulan : Gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah dan diare, kejang, koma, panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, ikterus (sepsis).

1 bln-2 thn : Panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah, diare, kejang, koma, kolik (anak menjerit keras), air kemih berbau/berubah warna, kadang-kadang disertai nyeri perut/pinggang.

2-6 thn : Panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, tidak dapat menahan kencing, polakisuria, disuria, enuresis, air kemih berbau dan berubah warna, diare, muntah, gangguan pertumbuhan serta anoreksia.

6-18 thn : Nyeri perut/pinggang, panas tanpa diketahui sebabnya, tak dapat menahan kencing, polakisuria, disuria, enuresis, air kemih berbau dan berubah warna.



DIAGNOSIS

Biakan air kemih :

Dikatakan infeksi positif apabila :

- Air kemih tampung porsi tengah : biakan kuman positif dengan jumlah kuman ≥105/ml, 2 kali berturut-turut.

- Air kemih tampung dengan pungsi buli-buli suprapubik : setiap kuman patogen yang tumbuh pasti infeksi. Pembiakan urin melalui pungsi suprapubik digunakan sebagai gold standar.



Dugaan infeksi :

- Pemeriksaan air kemih : ada kuman, piuria, torak leukosit

- Uji kimia : TTC, katalase, glukosuria, lekosit esterase test, nitrit test.

Mencari faktor resiko infeksi saluran kemih :

- Pemeriksaan ultrasonografi ginjal untuk mengetahui kelainan struktur ginjal dan kandung kemih.

- Pemeriksaan Miksio Sisto Uretrografi/MSU untuk mengetahui adanya refluks.

- Pemeriksaan pielografi intra vena (PIV) untuk mencari latar belakang infeksi saluran kemih dan mengetahui struktur ginjal serta saluran kemih.



DIAGNOSA BANDING

Yang penting adalah membedakan antara pielonefritis dan sistitis. Ingat akan pielonefritis apabila didapatkan infeksi dengan hipertensi, disertai gejala-gejala umum, adanya faktor predisposisi, fungsi konsentrasi ginjal menurun, respons terhadap antibiotik kurang baik.



PENATALAKSANAAN

Ada 3 prinsip penatalaksanaan infeksi saluran air kemih :

- Memberantas infeksi

- Menghilangkan faktor predisposisi

- Memberantas penyulit



Medikamentosa

Penyebab tersering ISK ialah Escherichia coli. Sebelum ada hasil biakan urin dan uji kepekaan, untuk eradikasi infeksi akut diberikan antibiotik secara empirik selama 7-10 hari. Jenis antibiotik dan dosis dapat dilihat pada lampiran.

Bedah

Koreksi bedah sesuai dengan kelainan saluran kemih yang ditemukan untuk menghilangkan faktor predisposisi..

Suportif

Selain pemberian antibiotik, penderita ISK perlu mendapat asupan cairan cukup, perawatan higiene daerah perineum dan periuretra, pencegahan konstipasi.

Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)

Rujukan ke Bedah Urologi sesuai dengan kelainan yang ditemukan. Rujukan ke Unit Rehabilitasi Medik untuk buli-buli neurogenik. Rujukan kepada SpA(K) bila ada faktor risiko.



PEMANTAUAN

Dalam 2 x 24 jam setelah pengobatan fase akut dimulai gejala ISK umumnya menghilang. Bila gejala belum menghilang, dipikirkan untuk mengganti antibiotik yang lain sesuai dengan uji kepekaan antibiotik. Dilakukan pemeriksaan kultur dan uji resistensi urin ulang 3 hari setelah pengobatan fase akut dihentikan, dan bila memungkinkan setelah 1 bulan dan setiap 3 bulan. Jika ada ISK berikan antibiotik sesuai hasil uji kepekaan.

Bila ditemukan ada kelainan anatomik maupun fungsional yang menyebabkan obstruksi, maka setelah pengobatan fase akut selesai dilanjutkan dengan antibiotik profilaksis (lihat lampiran). Antibiotik profilaksis juga diberikan pada ISK berulang, ISK pada neonatus, dan pielonefritis akut.



KOMPLIKASI

Pielonefritis berulang dapat mengakibatkan hipertensi, parut ginjal, dan gagal ginjal kronik (Pielonefritis berulang timbul karena adanya faktor predisposisi).



Jenis dan dosis antibiotik untuk terapi ISK

Tabel : Dosis antibiotika pareneteral (A), Oral (B), Profilaksis (C)

Obat Dosis mg/kgBB/hari Frekuensi/ (umur bayi)

(A) Parenteral

Ampisilin

100

tiap 12 jam (bayi < 1 minggu)



tiap 6-8 jam (bayi > 1 minggu)

Sefotaksim

150

dibagi setiap 6jam.



Gentamisin 5 tiap 12 jam (bayi < 1 minggu)

tiap 8 jam (bayi > 1 minggu)

Seftriakson 75 sekali sehari

Seftazidim

150

dibagi setiap 6 jam





Sefazolin

50

dibagi setiap 8 jam



Tobramisin

5

dibagi setiap 8 jam



Ticarsilin

100

dibagi setiap 6 jam



(B) Oral

Rawat jalan antibiotik oral (pengobatan standar)

Amoksisilin

20-40 mg/Kg/hari

q8h



Ampisilin

50-100 mg/Kg/hari

q6h



Amoksisilin-asam klafulanat 50 mg/Kg/hari

q8h



Sefaleksin 50 mg/Kg/hari q6-8h

Sefiksim

4 mg/kg

q12h



Nitrofurantoin*

6-7 mg/kg

q6h

Sulfisoksazole*

120-150

q6-8h

Trimetoprim*

6-12 mg/kg

q6h

Sulfametoksazole 30-60 mg/kg q6-8h

* Tidak direkomendasikan untuk neonatus dan penderita dengan insufisiensi ginja

(C) Terapi profilaksis



Nitrofurantoin*

1 -2 mg/kg

(1x malam hari)



Sulfisoksazole*

50 mg/Kg



Trimetoprim*

2mg/Kg



Sulfametoksazole 30-60 mg/kg





DAFTAR PUSTAKA

1. Brauhard BH, Travis BL, 1983. Infection of the urinary tract. In : Kelley VC, ed. Practice of Pediatrics. Volume VIII. New York : Harper and Row Publ., 1-15.

2. Davis, Gothefors, 1984. Bacterial Infections in the Fetus and Newborn Infant. Philadelphia : WB Saunders Co., 168.

3. Hanson S, Jodal U, 1999. Urinary Tract Infection. In Barratt TM, Avner ED, Harmon WE. 4th ED. Baltimor, Maryland USA: Lippincott William & Wilkins., 835-871.

4. Hoberman A, Charron M, Hickey RW et al, 2003. Imaging studies after febrile urinary tract infection in young children. N Engl J Med ; 348 :195-202.

5. Kempe CH, Silver HK, O,Brien D, 1980. Current Pediatric Diagnosis and Treatment. 6th ed. Singapore : Maruzen Co./Lange Medical Publ., 514.

6. Lambert H, Coulthard M, 2003. The child with urinary tract infection. In : Webb NJ.A, Postlethwaite RJ ed. Clinical Paediatric Nephrology.3rd ED. Great Britain: Oxford Universsity Press., 197-225.

7. Rusdidjas, Ramayati R, 2002. Infeksi saluran kemih. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. Buku ajar Nefrologi Anak. 2nd .Ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 142-163.
BATASAN

Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta sembab. Yang dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi, hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia.1



ETIOLOGI

Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :

1. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia di bawah 1 tahun.

Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi ISKDC (International Study of Kidney Diseases in Children, 1970) serta Habib dan Kleinknecht (1971).2



Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer3


Kelainan minimal (KM)

Glomerulosklerosis (GS)

Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)

Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)

Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)

Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif

Glomerulonefritis kresentik (GNK)

Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)

GNMP tipe I dengan deposit subendotelial

GNMP tipe II dengan deposit intramembran

GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial

Glomerulopati membranosa (GM)

Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.



Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak.4

Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya 5 menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan Noer 6 di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.

2. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :

a. Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom Alport, miksedema.

b. Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS.

c. Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun serangga, bisa ular.

d. Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.

e. Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.



PATOFISIOLOGI

Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.7

Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal.8

Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.

Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill.3 Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.

Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.3



GEJALA KLINIS

Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).9

Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM.9

Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.9

Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.9

Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi terganggu.9

Manifestasi klinik yang paling sering dijumpai adalah sembab, didapatkan pada 95% penderita. Sembab paling parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe kelainan minimal (SNKM). Bila ringan, sembab biasanya terbatas pada daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah periorbita, skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan pitting. Asites umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa tachypnea. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih pucat.

Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil umur.2

Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu > 40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram per hari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar dari pasien-pasien dengan tipe yang lain.9

Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin serum < 2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom nefrotik, dan umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum. Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi sempurna dari proteinuria.

Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai tipe sindrom nefrotik.1,5

Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik yang bukan SNKM.

Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat sembab dan secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan ekogenisitas yang normal.



CARA PEMERIKSAAN

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

I. Anamnesis

Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata, perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan.

II. Pemeriksaan fisis

Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi.

III. Pemeriksaan penunjang

Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia (< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat, rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.



DIAGNOSIS BANDING

1. Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema hepatal, edema Quincke.

2. Glomerulonefritis akut

3. Lupus sistemik eritematosus.

Penyulit

1. Shock akibat sepsis, emboli atau hipovolemia

2. Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas

3. Infeksi

4. Hambatan pertumbuhan

5. Gagal ginjal akut atau kronik

6. Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi, osteoporosis, gangguan emosi dan perilaku.



PENATALAKSANAAN

Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk dalam waktu 10-14 hari.

Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel 2 berikut :

Tabel 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik



Remisi



Kambuh



Kambuh tidak sering



Kambuh sering



Responsif-steroid

Dependen-steroid



Resisten-steroid



Responder lambat



Nonresponder awal

Nonresponder lambat

Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama

3 hari berturut-turut.

Proteinuria  2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.

Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12 bulan.

Kambuh  2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau  4 kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.

Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.

Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.

Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu.

Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain.

Resisten-steroid sejak terapi awal.

Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid.



PROTOKOL PENGOBATAN

International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60 mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan dihentikan.10

A. Sindrom nefrotik serangan pertama

1. Perbaiki keadaan umum penderita :

a. Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak. Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.

b. Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi plasma atau albumin konsentrat.

c. Berantas infeksi.

d. Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari komplikasi.

e. Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada edema anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau mengganggu aktivitas. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan obat antihipertensi.

2. Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan apakah penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan, tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari.

B. Sindrom nefrotik kambuh (relapse)

1. Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis relapse ditegakkan.

2. Perbaiki keadaan umum penderita.

a. Sindrom nefrotik kambuh tidak sering

Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan atau < 4 kali dalam masa 12 bulan.

1. Induksi

Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.

2. Rumatan

Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan.

b. Sindrom nefrotik kambuh sering

adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6 bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan.

1. Induksi

Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari) maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap hari selama 3 minggu.

2. Rumatan

Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam, diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1 minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10 mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison dihentikan.

Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi, terdapat indikasi kontra steroid, atau untuk biopsi ginjal.



PROGNOSIS

Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :

1. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6 tahun.

2. Disertai oleh hipertensi.

3. Disertai hematuria.

4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.

5. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.

Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons lagi dengan pengobatan steroid.



DAFTAR PUSTAKA

1. Chesney RW, 1999. The idiopathic nephrotic syndrome. Curr Opin Pediatr 11 : 158-61.

2. International Study of Kidney Disease in Children, 1978. Nephrotic syndrome in children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory chracteristics at time of diagnosis. Kidney Int 13 : 159.

3. Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.

4. Feehally J, Johnson RJ, 2000. Introduction to Glomerular Disease : Clinical Presentations. In : Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive Clinical Nephrology. London : Mosby; p. 5 : 21.1-4.

5. Wila Wirya IGN, 1992. Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi anatomis sindrom nefrotik primer pada anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta : Universitas Indonesia, 14 Oktober.

6. Noer MS, 1997. Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E, editors. Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas Airlanggap. 137-46.

7. A Report of the International Study of Kidney Disease in Children, 1981. The primary nephrotic syndrome in children : Identification of patients with minimal change nephrotic syndrome from initial response to prednison. J Pediatr 98 : 561.

8. Kaysen GA, 1992. Proteinuria and the nephrotic syndrome. In : Schrier RW, editor. Renal and electrolyte disorders. 4th edition. Boston : Little, Brown and Company pp. 681-726.

9. Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J [on line] 2002, 3 : 3 [2002 Mar 18] [(20) : screens]. Available from: URL:http//www.emedicine.com/PED/topic1564.htm on September 16, 2002 at 08.57.

10. Niaudet P, 2000. Treatment of idiopathic nephrotic syndrome in children. Up To Date 2000; 8.
PENDAHULUAN

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah keadaan dimana terjadi penurunan fungsi ginjal secara progresif, terdiri dari GGK ringan, sedang, berat sampai gagal ginjal terminal atau tahap akhir. Penurunan fungsi ginjal terjadi sesuai dengan penurunan jumlah dari massa ginjal (tabel 1). Fungsi ginjal dinyatakan sebagai laju filtrasi glomerulus (LFG) (1)



Tabel 1. Pembagian gagal ginjal kronik



Massa ginjal yang masih berfungsi(%) LFG

ml/menit/1.73m2 Gejala-gejala

Gagal ginjal ringan 50 – 25 80 – 50 Asimptomatik

Gagal ginjal sedang 25 – 15 50 – 30 Gangguan metabolik dan pertumbuhan

Gagal ginjal berat 15 – 5 30 – 10

Gagal ginjal terminal < 5 ≤ 10 Membutuhkan terapi pengganti ginjal



Dikutip dari Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical paediatric nephrology 3rd ed. Oxford University Press New York., 2003 : 428



ANGKA KEJADIAN

Angka kejadian gagal ginjal kronik sulit ditentukan secara pasti. Pada tahun 1999, di United Kingdom diperoleh data 53,4 per 1 juta anak mengalami terapi pengganti ginjal di mana 2,4% terjadi pada umur kurang dari 2 tahun, 6,4% pada umur 2-5 tahun, 20,5% pada umur 5-10 tahun, 41,2% pada umur 10-15 tahun dan 29,5% pada umur 15-18 tahun (1). Data GGK di Indonesia belum diketahui secara pasti. Di RSCM Jakarta dilaporkan 21 dari 252 anak yang menderita penyakit ginjal kronik (2).



PENYEBAB

Penyebab terjadinya GGK bermacam-macam. Namun terdapat tiga penyebab utama GGK pada anak yaitu kelainan kongenital, kelainan herediter, dan glomerulonefritis. Macam macam penyebab GGK adalah sebagai berikut : kelainan kongenital, kelainan herediter, glomerulonefritis, penyakit multisistem (lupus eritematosus, henoch schoenlein, hemolitic urmic syndrome), misscelaneous (penyakit neuromuskuler, tumor ginjal, syndroma drash). (1)



PATOFISIOLOGI

Ginjal mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu menghasilkan hormon-hormon misalnya eritropoitin, vitamin D3 aktif, membersihkan toksin hasil metabolisme dalam darah, mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa, serta memegang peranan untuk mengontrol tekanan darah(3). Pada gagal ginjal kronik, ginjal tidak mampu menjalankan beberapa atau semua fungsi tersebut di atas. Penyebab utama gangguan fungsi ginjal tersebut oleh karena berkurangnya massa ginjal oleh karena kerusakan akibat proses imunologis yang terus berlangsung, hiperfiltrasi hemodinamik dalam mempertahankan glomerulus, diet protein dan fosfat, proteinuria persisten serta hipertensi sistemik(3). Berkurangnya massa ginjal akibat kerusakan tersebut, akan menyebabkan terjadinya hipertrofi dan hiperfiltrasi dari massa ginjal yang tersisa. Akibatnya akan terjadi hipertensi pada massa ginjal tersebut yang dapat menyebabkan sklerosis glomerulus serta fibrosis dari jaringan interstitial(3,4).

Ginjal mempunyai kemampuan yang besar untuk melakukan kompensasi. Bila massa ginjal berkurang 50%, maka gejala-gejala pada GGK masih belum terlihat. Gejala-gejala GGK mulai tampak bila massa ginjal berkurang 50% sampai 80% misalnya uremia(3).

Uremia merupakan kumpulan gejala akibat terganggunya beberapa sistem organ sebagai akibat penimbunan toksin dari metabolisme protein(3). Tanda-tanda terjadinya gagal ginjal kronik yaitu adanya ginjal yang mengecil dari foto X-Ray, osteodistrofi ginjal, neuropati perifer serta terjadinya uremia(3).

Terjadinya osteodistrofi ginjal sebagai akibat terjadinya hiperparatiroid sekunder. Pada GGK terjadi penurunan LFG, akibatnya terjadi hiperfosfatemia yang akan merangsang kelenjar paratiroid untuk memproduksi hormon paratiroid. Di samping itu pada GGK terjadi penurunan aktifitas enzim 1 α-hidroxylase akan menyebabkan terjadinya hipokalsemia dan hiperfosfatemia. Keadaan ini juga akan merangsang kelenjar paratiroid untuk memproduksi hormon paratiroid. Ada dua macam bentuk osteodistrofi ginjal yaitu osteitis fibrosa cystica yang ditandai dengan peningkatan aktifitas osteoclast atau osteomalacia yang ditandai dengan penurunan aktifitas mineralisasi tulang (3).

Neuropati yang terjadi lebih bersifat sensoris dengan gejala timbulnya paraesthesia serta “sindroma restless leg”. Pada GGK terjadi anemia normokromik normositik, akibat penurunan produksi eritropoitin yang dalam keadaan normal diproduksi di endotel kapiler peritubular (3). Pada gagal ginjal terminal merupakan fase akhir progresifitas dari gagal ginjal kronik. Penderita mengalami kerusakan massa ginjal dalam jumlah sangat besar sehingga untuk mempertahankan fungsi ginjal memerlukan terapi pengganti ginjal baik dialisis atau transplantasi (3).



MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis pada GGK dapat disebabkan oleh penyakit yang mendasari maupun akibat dari GGK sendiri yaitu : (1,2,5,6,7,8)

1. Kegagalan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit

2. Penumpukan metabolit toksik atau toksin uremik

3. Kekurangan hormon yang diproduksi di ginjal yaitu eritropoietin dan vit. D3 aktif

4. Respon abnormal dari end organ terhadap hormon pertumbuhan





DIAGNOSIS (1,6)

Untuk menegakkan diagnosa GGK, anamnesis merupakan petunjuk yang sangat penting untuk mengetahui penyakit yang mendasari. Namun demikian pada beberapa keadaan memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan khusus. Pemeriksaan yang diperlukan untuk mengetahui beratnya GGK adalah sebagai berikut :

• Darah lengkap : hemoglobin, leukosit, trombosit, differential count, hapusan darah.

• Kimia darah :

o Serum elektrolit (K, Na, Ca, P, Cl), ureum, kreatinin, serum albumin, total protein, asam urat.

o Analisa gas darah

o Kadar hormon paratiroid

• Pemeriksaan urin : albumin/protein, sedimen urin.

• Laju Filtrasi Glomerulus, dapat ditentukan dengan menggunakan rumus Haycock-Schwartz

LFG = ( K x h )

Pcr

o LFG : Laju Filtrasi Glomerulus

o K : konstanta sesuai dengan tinggi badan dan massa otot

o h : tinggi badan dalam cm

o Pcr : kadar kreatinin dalam plasma (µmol/L atau mg/dL)

o Nilai K berbeda menurut umur

Umur Pcr (mg/dL)

Preterm 0,27

Neonatus 0,37

Bayi ( 0-1 th ) 0,45

Anak ( 2-12 th) 0,55

Perempuan ( 13-21 th ) 0,55

Laki-laku ( 13-21 th) 0,70



• Foto tangan kiri dan pelvis untuk mengetahui bone age serta terjadinya osteodistrofi ginjal.

• Thorax foto, elektrokardiografi (EKG) dan echocardiografi untuk mengetahui terjadinya hipertrofi ventrikel.

• Pemeriksaan khusus yang diperlukan sesuai dengan penyakit yang mendasari :

o Ultrasonografi ginjal

o Voidingcystourography

o Radioisotop-Scans

o Antegrade pressure flow studies

o Intravenous urogram

o Urinalisis

o Pemeriksaan mikroskop urin, kultur

o Komplemen C3, C4, antinuklear antibodi, anti DNA antibodi, anti GBN antibodies, ANCA

o Biopsi ginjal



PENGOBATAN (1,2,3,4,6,9)

Penanganan penderita GGK meliputi penanganan :

• Penyakit yang mendasari

• Keadaan sebelum mencapai gagal ginjal terminal

• Gagal ginjal terminal

Penanganan penyakit yang mendasari misalnya pengobatan glomerulonefritis, reflux nefropati, uropati obstruktif, serta penyakit-penyakit sistemik yang mendasari.



Penanganan sebelum penderita mencapai gagal ginjal terminal meliputi :

A. Pengobatan secara konservatif

a) Pengobatan secara simptomatis, yaitu mengurangi gejala uremia seperti mual, muntah

b) Mengusahakan kehidupan penderita menjadi normal kembali, sehingga dapat melakukan aktifitas seperti sekolah dan kehidupan sosial

c) Mempertahankan pertumbuhan yang normal

d) Menghambat laju progresifitas menjadi gagal ginjal terminal

e) Mempersiapkan penderita dan keluarga untuk menjalani terapi pengganti ginjal misalnya dialisis, transplantasi ginjal

B. Pemberian nutrisi

Pemberian nutrisi penting untuk memperbaiki nutrisi dan pertumbuhan penderita. Pemberian nutrisi pada GGK:

a) Kalori yang adekuat mengacu pada recommended daily allowance (RDA) Tabel2.

b) Protein yang diberikan harus cukup untuk pertumbuhan namun tidak memperberat keadaan uremia. Tabel2.

c) Pemberian diet yang mengandung fosfat harus dibatasi untuk mencegah terjadinya hiperparatiroidism sekunder. Dianjurkan mempergunakan kalsium karbonat untuk mengikat fosfat.





Tabel 2. Kebutuhan kalori dan protein yang direkomendasikan untuk anak dengan gagal ginjal kronik



Umur Tinggi Energi Minimal Ca P

( cm) (Kkal) protein(g) (g) (g)



0-12 bulan 55 120/kg 2,2/kg 0,4 0,2

2-6 bulan 63 110/kg 2,0/kg 0,5 0,4

6-12 bulan 72 100/kg 1,8/kg 0,6 0,5

1-2 tahun 81 1000 18 0,7 0,7

2-4 tahun 96 1300 22 0,8 0,8

4-6 tahun 110 1600 29 0,9 0,9

6-8 tahun 121 2000 29 0,9 0,9

8-10 tahun 131 2200 31 1 1

10-12 tahun 141 2450 36 1,2 1,2

12-14tahun L 151 2700 40 1,4 1,4

P 154 2300 34 1,3 1,3

14-18tahun L 170 3000 45 1,4 1,4

P 159 2350 35 1,3 1,3

18-20tahun L 175 2800 4,2 0,8 0,8

P 163 2300 33 0,8 0,8



C. Pemberian cairan dan elektrolit

Pengaturan cairan pada penderita GGK harus mengacu pada status hidrasi penderita. Dilakukan evaluasi turgor kulit, tekanan darah, dan berat badan. Pada penderita GGK dengan poliuria pemberian cairan harus cukup adekuat untuk menghindari terjadinya dehidrasi. Harus ada keseimbangan antara jumlah cairan yang dikeluarkan (urin, muntah, dan lain-lain) dengan cairan yang masuk. Pemberian cairan juga harus memperhitungkan insensible water loss. Pembatasan cairan biasanya tidak diperlukan, sampai penderita mencapai gagal ginjal tahap akhir atau terminal.

D. Koreksi asidosis dengan pemberian NaHCO3 1-2 mmol/kg/hari peroral dalam dosis terbagi. Keadaan asidosis yang berlangsung lama akan mengganggu pertumbuhan. Pengobatan asidosis harus dimonitor. Dosis harus disesuaikan dengan analisis gas darah. Pada asidosis berat dilakukan koreksi dengan dosis 0,3 kgBB x (12 - HCO3- serum) mEq/L iv. Satu tablet NaHCO3 500 mg = 6 Meq HCO3-.

E. Osteodistrofi ginjal

Osteodistrofi ginjal dapat dicegah dengan pemberian kalsium, pengikat fosfat serta vitamin D. Dosis kalsium yang sering digunakan 100-300 mg/m2/hari. Vitamin D yang sering digunakan 1,25 OHvitD3 (rocatrol) dengan dosis 0,25 μg/hari (15-40 ng/kgBB/hari).

F. Hipertensi

Hipertensi pada GGK penyebabnya multifaktor. Pengobatan hipertensi meliputi non farmakologis yaitu diet rendah garam, menurunkan berat badan dan olah raga. Pengobatan farmakologis, obat yang sering dipergunakan yaitu : diuretik, calcium channel blocker, angiotensin receptor blocker, ACE (angiotensin converting enzym) inhibitor, beta blocker,agonis adrenergik alfa,vasodilator perifer.



Pengobatan hipertensi diawali dengan pemberian diuretik golongan furosemid 1-4 mg/kgBB/hari dibagi 1-4 dosis. Bila tidak berhasil dapat diberi antihipertensi calcium channel blocker ( nifedepin 1-2 mg/kg/hari dibagi 4 dosis ), ACE inhibitor ( kaptopril 0,3 mg/kg/kali diberikan 2-3 kali sehari), beta blocker (propanolol 1-10 mg/kg/hari), dan lain-lain. Pada hipertensi krisis dapat diberikan nifedipin secara sublingual 0,1mg/kg/kali maksimum 1 mg/kg/hari.

G. Anemia

Pengobatan anemia pada GGK dengan pemberian recombinant hormon eritropoietin (EPO), bila Hb ≤ 10 g/dl, Ht ≤ 30% dengan dosis 50 unit/kgBB subkutan dua kali seminggu, dengan catatan serum feritin > 100 μg/L. Dosis dapat ditingkatkan sampai target haemoglobin 10-12 mg/dL tercapai. Selain itu pemberian asam folat diberikan pada penderita dengan defisiensi asam folat, dosis 1-5 mg/hari (selama 3-4 minggu). Penderita dengan dialisis diberi dosis rumatan 1 mg/hari.

H. Gangguan jantung

Bila terjadi gagal jantung dan hipertensi, maka pengobatan diberikan furosemide secara oral atau intravena dan pemberian calcium channel blocker. Bila terjadi perikarditis dan uremia berat adalah indikasi dilakukan dialisis.

I. Gangguan pertumbuhan

Evaluasi pertumbuhan penderita GGK terutama dibawah umur 2 tahun dengan melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar kepala secara teratur. Sehingga adanya gangguan pertumbuhan dapat segera diketahui. Pemberian nutrisi yang adekuat dapat mencegah terjadinya gangguan pertumbuhan. Terapi dengan recombinant growth hormon (rhGH) dapat diberikan untuk mempercepat pertumbuhan dengan dosis 0,35 mg/kgBB atau 30 UI/m2 perminggu dibagi 7 dosis. Pemberian rhGH pada anak-anak masa pubertal menunjukkan hasil yang memuaskan daripada anak-anak usia pubertal.



Penanganan penderita dengan gagal ginjal terminal dengan melakukan terapi pengganti ginjal meliputi transplantasi ginjal dan dialisis.

a) Transplantasi ginjal merupakan pilihan utama pada GGT. Namun sebelum dilakukan transplantasi ginjal sering penderita GGT harus menjalani dialisis terlebih dahulu. Transplantasi ginjal yang dilakukan tanpa dialisis disebut pre-emptive transplantation (1).

b) Dialisis dilakukan pada penderita dengan indikasi sebagai berikut :

• Gejala-gejala uremia yaitu letargi, anoreksia, muntah-muntah.

• Hiperkalemia yang tidak respon dengan koreksi

• Overload cairan

Ada 2 macam dialisis yaitu :

• Peritoneal dialisis

• Hemodialisis

Pada anak peritoneal dialisis lebih disukai daripada hemodialisis. Saat ini tindakan dialisis cenderung dilakukan lebih awal yaitu bila LFG kurang dari 15 mL/menit/1,73 m2 luas permukaan tubuh.



DAFTAR PUSTAKA

1. Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 427-46.

2. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal Ginjal Kronik. Dalam Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO Eds. Buku Ajar Nefrologi Anak 2nd ed. Bali penerbit FKUI Jakarta, 2002; 509-30.

3. Fogo AB, Kon V. Pathophysiology of progressive renal disease. In Avner ED, Harmon WE, Niaudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1269-85.

4. Kei-Chiu TN, Chiu MC. Pre-Renal Replacement Program : Conservative Management of Chronic Kidney Disease. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 247-52.

5. Yap HK. Anemia, Renal Osteodystrophy, Growth Failure in Chronic Renal Failure. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 253-61.

6. Winearls CG. Clinical Evaluation and Manifestation of chronic Renal Failure. In Johnson RJ, Feecally J Eds. Comprehensive Clinical Nephrology. Harcourt Publishers Limited London, 2000; section 14. 68 : 1-14.

7. Fine RN, Whyte DA, Baydstrun II. Conservative management of chronic renal insufficiency. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1291-305.

8. Kuizon BD, Sausky IB. Renal Osteodistrophy. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1291-305.

9. Goonasekera CDA, Dillon MJ. Thhe child with hypertension. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 151-61.
BATASAN

Adalah suatu keadaan klinis, terjadi penurunan fungsi ginjal secara mendadak dengan akibat kemampuan ginjal untuk mempertahankan homeotasis tubuh hilang, dan disertai gejala-gejala sebagai akibat :

1. Gangguan keseimbangan air dan elektrolit

2. Gangguan keseimbangan asam-basa

3. Gangguan eliminasi limbah metabolisme misalnya ureum, creatinin

Gagal ginjal akut biasanya disertai anuria, oliguria, produksi urin normal maupun poliuria.



ETIOLOGI

Berbagai faktor penyebab Gagal Ginjal Akut dapat dikatagorikan menjadi : Faktor Prarenal (Prerenal Failure), Faktor Renal (Intrinsic Renal Failure) dan Faktor Pasca Renal (Postrenal Failure).

a. Gagal Ginjal Prarenal

Penyebab utama terjadi Prarenal Failure adalah hipoperfusi ginjal yang disebabkan karena dehidrasi, hipoalbuminemia, luka bakar, gagal jantung.

b. Gagal Ginjal Renal

Pada tipe ini Gagal Ginjal Akut timbul akibat kerusakan jaringan ginjal. Kerusakan dapat terjadi pada glomeruli atau tubuli sehingga faal ginjal langsung terganggu. Dapat pula terjadi karena hipoperfusi prarenal yang tak teratasi sehingga mengakibatkan iskemia, serta nekrosis jaringan ginjal, seperti misalnya glomerulonefritis, gangguan vaskularisasi ginjal, nekrosis tubular akut, pielonefritis.

c. Gagal Ginjal Pascarenal

Semua faktor pascarenal yang menyebabkan obstruksi pada saluran kemih yang bersifat bilateral, misalnya : kristal, batu, tumor, bekuan darah, trauma, kelainan bawaan.



PATOFISIOLOGI

GGA adalah suatu proses multifaktor yang meliputi gangguan hemodinamik renal, suseptibel nefron yang spesifik, obstruksi tubulus renalis, gangguan sel dan metabolik. Vaso konstriksi diduga merupakan faktor utama yang mengganggu hemodinamik renal yang dapat menyebabkan terjadinya GGA. Gangguan pada epitel tubulus ginjal dapat mengakibatkan pengeluaran komponen vasoaktif yang dapat mengakibatkan peningkatan resistensi pembuluh darah kortek. Keadaan ini dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal dan mengganggu tubulus ginjal. Penurunan laju filtrasi glomerulus terjadi akibat vaso konstriksi pembuluh darah afferen dan efferen, sehingga dapat menurunkan produksi urin. Komponen vasoaktif yang dapat menyebabkan iskemia dan toksik pada ginjal, meliputi angiotensin, prostaglandin, endotelin, nitric oxide. Walaupun vasokonstriksi diduga sebagai penyebab utama GGA, namun pemberian vaso dilator tidak terbukti dapat memperbaiki fungsi ginjal.

Gangguan sel dan metabolik pada ginjal melibatkan molekul oksigen reaktif yang dapat ditemukan pada beberapa penyakit ginjal. Molekul oksigen yang paling reaktif adalah radikal bebas meliputi hidroksil radikal dan anion superoksid. Metabolit oksigen reaktif dapat menyebabkan terjadi iskemia oleh karena terjadi reaksi dengan nitric oxide sintetase.

Tubulus ginjal merupakan tempat utama penggunaan energi pada ginjal. Sehingga tubulus mudah mengalami kerusakan bila terjadi iskemia atau oleh obat obat nefrotoksik. Struktur dan fungsi sel epitel mengalami kerusakan, sehingga terjadi peningkatan kalsium dalam sel, aktifasi fosfolipase, polaritas menghilang, terjadi pengelupasan skeleton dari kortek. Kematian sel yang terjadi setelah iskemia atau proses toksik, sebagai akibat nekrosis atau apoptosis dan gangguan gene yang menyebabkan kerusakan DNA. Apoptosis terjadi akibat ada bahan yaitu tumor necrosis factor dan inhibitor yaitu growth faktor, walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.

GGA pasca renal, disebabkan obstruksi aliran urin, dapat bersifat kongenital maupun didapat. Kelainan kongenital yang sering menyebabkan GGA adalah obstruksi katup uretra posterior. Obstruksi pasca renal yang dimaksud adalah obstruksi bagian distal nefron misalnya ureter. Namun demikian obstruksi pada tubulus misalnya akibat kristal jengkol, juga dimasukkan obstruksi pasca renal. Obstruksi kristal jengkol dapat terjadi mulai dari uretra, ureter dan pelvis.



GEJALA KLINIS

Keluhan dan gejala Gagal Ginjal Akut pada anak tidak khas. Gagal Ginjal Akut hendaknya dipertimbangkan pada anak-anak dengan gejala-gejala sebagai berikut :

1. Gejala-gejala non-spesifik dari uremia : mual, muntah, anoreksia, drowsiness atau kejang.

2. Oliguria atau anuria (< 300 ml/m2/hari atau <1 ml/kg BB/jam)

3. Hiperventilasi karena asidosis.

4. Sembab.

5. Hipertensi.

6. Kelainan sedimen urine, misalnya : hematuria, proteinuria.

7. Tanda-tanda obstruksi saluran kemih, misalnya : pancaran urine yang lemah, kencing menetes atau adanya masa pada palpasi abdomen.

8. Keadaan-keadaan yang merupakan faktor predisposisi Gagal Ginjal Akut, misalnya diare dengan dehidrasi berat, penggunaan aminoglikosida, khemoterapi pada leukemia akut.



PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS

Apabila dicurigai terjadinya Gagal Ginjal Akut, segera lakukan pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin serum. Kreatinin serum merupakan gambaran dari Laju Filtrasi Glomerulus (LFG), yang dapat diprakirakan dengan menggunakan rumus :









DIAGNOSA BANDING

Perlu segera dibedakan jenis Gagal Ginjal Akut prarenal, renal atau pascarenal oleh karena masing-masing mempunyai aspek pengobatan yang berbeda. Gagal Ginjal pascarenal (obstruksi) paling mudah dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi. Untuk membedakan Gagal Ginjal prarenal atau intrarenal, dapat dilakukan 2 macam cara pemeriksaan :

1. Perbedaan secara laboratorium :

Urine Prarenal Renal

Volume Sedikit Sedikit

Protein Negatif Sering positif

Sedimen Normal Torak granular, eritrosit

Berat jenis > 1020 1010 – 1015

Na urine (mmol/l) < 10 > 25

Urea urine (mmol/l) > 250 < 160

Osmolalitas (mmol/l) > 500 200¬¬¬¬¬¬– 350

Ratio osmolalitas U/P > 1.3 < 1,1

FENa < 1 > 1



2. Perbedaan secara pemberian terapi :

Cara ini hendaknya dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya overloading atau dehidrasi.

a. Terapi cairan : dengan memberikan infus garam isotonik atau Ringer’s Lactate sebanyak 20 ml/kg berat badan selama 1 jam, dilanjutkan pemberian diuretik. Bila terjadi diuresis > 2 ml/kg BB/jam berarti Gagal Ginjal Prarenal.

b. Diuretik : boleh dilakukan bila faktor prarenal telah dikoreksi :

1. Furosemide 1-2 mg/kg BB/kali, diberikan 2 kali (selang 4 jam).

Efek samping : eksaserbasi gagal ginjal dan ototoksisitas terutama bila diberikan dalam dosis tinggi dan keadaan asidosis metabolik.

2. Mannitol 0,5-1 gram/kg bb diinfus dalam 10-20 menit .

Efek samping : meningkatkan volume darah dan sembab paru.

Bila terjadi diuresis > 2 ml/kg/jam pasca terapi berarti suatu Gagal Ginjal Prarenal. Bila diuresis < 2 ml/kg/jam berarti suatu Gagal Ginjal Intrarenal.





PENATALAKSANAAN

1. Cairan :

Faktor-faktor prarenal (penyebab dehidrasi) harus segera dikoreksi dengan pemberian cairan yang sesuai dan adekuat. Pemberian cairan pada Gagal Ginjal Akut harus hati-hati untuk menghindarkan terjaidnya overload cairan. Dapat digunakan rumus, yaitu jumlah cairan yang diperlukan diperhitungkan terhadap jumlah kalori yang dikeluarkan:



Kebutuhan cairan sehari = 25 ml per 100 cal yang dikeluarkan + jumlah volume urine.



Kebutuhan Kalori Sehari :

Berat Badan Kebutuhan Kalori Sehari

3-10 kg 100 cal/kg BB

11-20 kg 1000 cal + 50 cal/kg BB diatas 10 kg

> 20 kg 1500 cal + 20 cal/kg BB diatas 20 kg



Pemantauan :

a. Penurunan berat badan 0,5-1,0% tiap hari menunjukkan pemberian cairan yang tepat.

b. Panurunan kadar Natrium menunjukkan overhidrasi.

c. Pemantauan dengan CVP sangat dianjurkan.

2. Asidosis metabolik

Asidosis harus dikoreksi apabila kadar HCO3 < 12 mEq/L dan pH darah < 7,2. Jumlah Bikarbonat yang diperlukan = (HCO3 ideal – HCO3 aktual) x berat badan (kg) x 0,3. Bila pemberian ini tidak dimungkinkan, dapat diberi koreksi buta 2-3 mEq/kg bb/hari setiap 12 jam. Bila dengan koreksi tersebut tidak menunjukkan hasil, dialisis merupakan indikasi.

3. Hiperkalemia

Bila terdapat tanda-tanda hiperkalemia berat (ada perubahan-perubahan pada EKG dan kadar K+ serum > 7 mEq/L), perlu segera diberikan :

a. Glukonas kalsikus 10%, 0.5 ml/kg BB intravena dalam 10-15 menit. Tujuannya untuk mengatasi efek toksik K+ pada jantung.

b. Sodium Bicarbonate 7,5%, 2,5 mEq/kg BB intravena selama 10-15 menit, untuk meningkatkan ph darah sehingga terjadi intracellular shift sehingga kadar K+ serum turun.

c. Glucosa 0.5 g/kg bb per infus selama 30 menit ditambah insulin 0,1 unit/kg bb atau 0,2 unit/g glukosa untuk menggerakkan K+ bersama glukosa ke dalam sel masuk ke dalam proses glikolisis.

d. Ion exchange resin untuk mengeliminasi K+ dari tubuh.

4. Hiperfosfatemia dan Hipokalsemia :

Pada gagal ginjal pencegahan dilakukan dengan mempertahankan kadar kalsium serum antara 9.0-10.0 mg/100 ml melalui pemberian suplemen kalsium yang cukup. Bila timbul tetani akibat hipokalsemia, perlu diberi glukonas kalsikus 10% i.v. 0,5 ml/kg bb pelan pelan 5-10 menit, dilanjutkan dosis rumatan kalsiumoral 1-4 gram/hari. Kadar fosfat serum dipertahankan antara 4.0-5.0 mg/100 ml dengan diit rendah fosfat. Dapat pula dilakukan pengikatan fosfat dalam usus dengan menggunakan kalcium karbonate 50 mg/kg bb/hari, laktat atau glukonat sebagai phosphate binder. Vitamin D perlu disertakan dalam diit dan sebaiknya diberikan 1,25 (OH)2 cholecalciferol sebagai vitamin D3 aktif dengan dosis 0.5-1.0 microgram per hari.

5. Anemia

Anemia ringan terjadi karena produksi erythropoetin menurun dan erythropoesis tak sempurna sehingga produksi sel darah merah tak sempurna serta life-span memendek. Transfusi tidak dianjurkan bila gejala-gejala klinis anemia tak terlihat atau Hb masih di atas 6 g/dl, karena transfusi dapat memperberat hiperkalemia, hipertensi dan payah jantung. Bila Hb < 6 g/dl atau Ht < 20%, tranfusi dilakukan dengan mempergunakan pack red cell (10 ml/kg bb) dengan tetesan lambat 4-6 jam (lebih kurang 10 tetes/menit). Pemberian erythropoitin rekombinan perlu dipertimbangkan bila Hb  10 g/dl, Ht  30%, dengan catatan cadangan besi adekuat: Feritin > 100 g/L, saturasi transferin > 20%, serta tidak ada infeksi berat.

6. Hipertensi

Penyebabnya biasanya fluid overload atau kelainan parenkhim ginjal. Terapi dengan restriksi cairan dan natrium, pemberian diuretik, dan bila perlu diberikan antihipertensi, misalnya : kaptopril 0.3 mg/kg bb/kali diberikan 2-3 kali sehari. Obat anti hipertensi lain adalah Hydralazine (1-5 mg/kg BB/hari), Methyldopa (10-50 mg/kg BB/hari), Propranolol (1-10 mg/kg BB/hari). Pada hipertensi krisis dapat diberikan nifedipin sublingua 0.1 mg/kg bb/kali dengan pemberian maksimum 1 mg/kg bb/hari. Nitroprusid natrium 0,5 mg/kg bb/menit juga dapat diberikan pada krisis hipertensi.

7. Kejang

Timbul karena hipervolemia, hipokalsemia, hipertensi atau BUN yang meningkat dengan cepat. Kejang dapat pula timbul pasca transfusi darah atau albumin, karena terjadi ekspansi secara tiba-tiba dari fluid compartment. Bila perlu diberi obat-obat anti kejang, yaitu diazepam 0,3-0,5 mg/kg bb i.v dapat diulang tiap 15 menit seperti menangani kejang pada umumnya, dan dilanjutkan rumatan dengan phenobarbital 4-8 mg/kg bb/hari.

8. Infeksi

Infeksi biasanya menyerang saluran kemih, pernapasan dan pencernaan. Pengobatan dengan antibiotik yang sesuai harus segera diberikan. Dosis harus disesuaikan dengan turunnya fungsi ginjal. Sebaiknya pencegahan dilakukan, antara lain dengan cara menghindari tindakan-tindakan yang tidak perlu, penanganan secara aseptik dan steril.

9. Nutrisi

Prinsip nutrisi yang harus diberikan adalah diit tinggi kalori rendah protein, dengan jumlah kebutuhan kalori disesuaikan dengan umur dan berat badan. Jumlah kalori ideal 60-100 cal/kg BB/hari diberikan terutama dalam bentuk glukosa dan lemak. Protein dibatasi antara 0.85-1.0 gram/kg BB/hari dalam bentuk protein hewani yang bernilai biologik tinggi. Sebaiknya disertakan pula vitamin.

10. Edema paru

Edema paru merupakan keadaan yang sangat berbahaya dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat. Tindakan yang dilakukan dengan memberikan furosemid i.v. 1 mg/kg bb disertai torniket dan flebotomi. Di samping itu dapat diberi morfin 0,1 mg/kg bb. Bila tindakan tersebut tidak berhasil dalam waktu 20 menit, maka dialisis harus segera dilakukan.

11. Dialisis

Dilakukan apabila dengan terapi konservatif tidak berhasil. Indikasi dialisis pada anak dengan GGA ialah :

1. Kadar ureum darah > 200 mg%

2. Hiperkalemia > 7,5mEq/L

3. Bikarbonas serum < 12 mEq/L

4. Adanya gejala gejala overhidrasi : edema paru, dekompensasi jantung, hipertensi yang tidak dapat diatasi dengan obat.

5. Perburukan keadaan umum dengan gejala uremia berat : perdarahan, kesadaran menurun sampai koma.



DAFTAR PUSTAKA

1. Andreoli SP, 1999. Management of Acute Renal Failure. In Barratt TM, Avner ED, Harmon WE. 4th ED. Baltimor, Maryland USA : Lippincott William & Wilkins; 1119-1133.

2. Alatas H, 2002. Gagal ginjal akut. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO. Buku Ajar Nefrologi Anak. 2nd .Ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 490-508.

3. Fitzpatrick MM, Kerr SJ, Bradbury MG, 2003. Acute renal failure. In : Postlethwaite R, Webb N. Clinical Paediatric Nephrology. 3rd Ed. New York : Oxford University Press; 405-425.

4. Gauthir B, Edelmann JR, CM, Barnett HL, 1982. Management of Acute Renal Failure. In : Ganthier B, et al eds. Nephrology and Urology for the Pediatrician. 1st ed. Boston; Little, Brown and Company, 251-261.

5. Perhimpunan nefrologi Indonesia 2001. Konsensus manajemen anemia pada pasien Gagal Ginjal Kronik. Jakarta; PERNEFRI, 15-17.

6. Yap HK, 1989. Acute renal failure. In : Yip WCL, Tay JSH eds. A Practical Manual on Acute Paediatrics. 1st. Ed. Singapore : PG Publishing ; 273-288.

Sabtu, 20 Maret 2010

BATASAN

Pneumonia dalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus, mikoplasma, jamur atau bahan kimia/benda asing yang teraspirasi dengan akibat timbulnya ketidakseimbangan ventilasi dengan perfusi (ventilation perfusion mismatch).



PATOFISIOLOGI

Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme : filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis, ekspulsi benda asing melalui refleks batuk, pembersihan ke arah kranial oleh mukosilier, fagositosis kuman oleh makrofag alveolar, netralisasi kuman oleh substansi imun lokal dan drainase melalui sistem limfatik. Faktor predisposisi pneumonia : aspirasi, gangguan imun, septisemia, malnutrisi, campak, pertusis, penyakit jantung bawaan, gangguan neuromuskular, kontaminasi perinatal dan gangguan klirens mukus/sekresi seperti pada fibrosis kistik , benda asing atau disfungsi silier.

Mikroorganisme mencapai paru melalui jalan nafas, aliran darah, aspirasi benda asing, transplasental atau selama persalinan pada neonatus. Umumnya pneumonia terjadi akibat inhalasi atau aspirasi mikroorganisme, sebagian kecil terjadi melalui aliran darah (hematogen). Secara klinis sulit membedakan pneumonia bakteri dan virus. Bronkopneumonia merupakan jenis pneumonia tersering pada bayi dan anak kecil. Pneumonia lobaris lebih sering ditemukan dengan meningkatnya umur. Pada pneumonia yang berat bisa terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis respiratorik, asidosis metabolik dan gagal nafas.



DIAGNOSIS

Anamnesis

- Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus menerus, sesak, kebiruan disekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada bayi) dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi, penurunanan kesadaran, kejang atau kembung sehingga sulit dibedakan dengan meningitis, sepsis atau ileus.

Pemeriksaan fisis

- Tanda yang mungkin ada adalah suhu ≥ 390 C, dispnea : inspiratory effort ditandai dengan takipnea, retraksi (chest indrawing), nafas cuping hidung dan sianosis. Gerakan dinding toraks dapat berkurang pada daerah yang terkena, perkusi normal atau redup. Pada pemeriksaan auskultasi paru dapat terdengar suara nafas utama melemah atau mengeras, suara nafas tambahan berupa ronki basah halus di lapangan paru yang terkena.

Pemeriksaan penunjang

- Pada pemeriksaan darah tepi dapat terjadi leukositosis dengan hitung jenis bergeser ke kiri.

- Bila fasilitas memungkinkan pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan keadaan hipoksemia (karena ventilation perfusion mismatch). Kadar PaCO2 dapat rendah, normal atau meningkat tergantung kelainannya. Dapat terjadi asidosis respiratorik, asidosis metabolik, dan gagal nafas.

- Pemeriksaan kultur darah jarang memberikan hasil yang positif tetapi dapat membantu pada kasus yang tidak menunjukkan respon terhadap penanganan awal.

- Pada foto dada terlihat infiltrat alveolar yang dapat ditemukan di seluruh lapangan paru. Luasnya kelainan pada gambaran radiologis biasanya sebanding dengan derajat klinis penyakitnya, kecuali pada infeksi mikoplasma yang gambaran radiologisnya lebih berat daripada keadaan klinisnya. Gambaran lain yang dapat dijumpai :

o Konsolidasi pada satu lobus atau lebih pada pneumonia lobaris

o Penebalan pleura pada pleuritis

o Komplikasi pneumonia seperti atelektasis, efusi pleura, pneumomediastinum, pneumotoraks, abses, pneumatokel
BATASAN
Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mikobakterium tuberkulosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer.

PATOGENESIS
Penularan TBC terjadi karena menghirup udara yang mengandung Mikobakterium tuberkulosis (M.Tb), di alveolus M.Tb akan difagositosis oleh makrofag alveolus dan dibunuh. Tetapi bila M.Tb yang dihirup virulen dan makrofag alveolus lemah maka M.Tb akan berkembang biak dan menghancurkan makrofag. Monosit dan makrofag dari darah akan ditarik secara kemotaksis ke arah M.Tb berada, kemudian memfagositosis M.Tb tetapi tidak dapat membunuhnya. Makrofag dan M.Tb membentuk tuberkel yang mengandung sel-sel epiteloid, makrofag yang menyatu (sel raksasa Langhans) dan limfosit. Tuberkel akan menjadi tuberkuloma dengan nekrosis dan fibrosis di dalamnya dan mungkin juga terjadi kalsifikasi. Lesi pertama di alveolus (fokus primer) menjalar ke kelenjar limfe hilus dan terjadi infeksi kelenjar limfe, yang bersama-sama dengan limfangitis akan membentuk kompleks primer. Dari kelenjar limfe M.Tb dapat langsung menyebabkan penyakit di organ-organ tersebut atau hidup dorman dalam makrofag jaringan dan dapat aktif kembali bertahun-tahun kemudian. Tuberkel dapat hilang dengan resolusi atau terjadi kalsifikasi atau terjadi nekrosis dengan masa keju yang dibentuk oleh makrofag. Masa keju dapat mencair dan M.Tb dapat berkembang biak ekstra selular sehingga dapat meluas di jaringan paru dan terjadi pneumonia, lesi endobronkial, pleuritis atau Tb milier. Juga dapat menyebar secara bertahap menyebabkan lesi di organ-organ lainnya .
BATASAN
Asma secara klinis praktis adalah adanya gejala batuk dan/atau mengi berulang, terutama pada malam hari (nocturnal), reversible (dapat sembuh spontan atau dengan pengobatan) dan biasanya terdapat atopi pada pasien dan atau keluarganya.
Yang dimaksud serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala-gejala batuk, sesak nafas, mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala-gejala tersebut.

Penggolongan asma tergantung pada derajat penyakitnya (aspek kronik) dan derajat serangannya (aspek akut). Berdasar derajat penyakitnya, asma dibagi menjadi
(1) asma episodik jarang,
(2) asma episodik sering dan
(3) asma persisten.
Berdasarkan derajat serangannya, asma dikelompokkan menjadi
(1) serangan asma ringan,
(2) sedang dan
(3) berat.
BATASAN
Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif akibat inflamasi akut pada saluran nafas kecil (bronkiolus) yang terjadi pada anak < 2 tahun dengan insidens tertinggi pada usia sekitar 2-6 bulan dengan penyebab tersering respiratory sincytial virus (RSV), diikuti dengan parainfluenzae dan adenovirus. Penyakit ditandai oleh sindrom klinik yaitu, napas cepat, retraksi dada dan wheezing.



PATOFISIOLOGI

Mikroorganisme masuk melalui droplet akan mengadakan kolonisasi dan replikasi di mukosa bronkioli terutama pada terminal bronkiolus sehingga akan terjadi kerusakan/nekrosis sel-sel bersilia pada bronkioli. Respon imun tubuh yang terjadi ditandai dengan proliferasi limfosit, sel plasma dan makrofag. Akibat dari proses tersebut akan terjadi edema sub mukosa, kongesti serta penumpukan debris dan mukus (plugging), sehingga akan terjadi penyempitan lumen bronkioli. Penyempitan ini mempunyai distribusi tersebar dengan derajat yang bervariasi (total/sebagian). Gambaran yang terjadi adalah atelektasis yang tersebar dan distensi yang berlebihan (hyperaerated) sehingga dapat terjadi gangguan pertukaran gas serius, gangguan ventilasi/perfusi dengan akibat akan terjadi hipoksemia (PaO2 turun) dan hiperkapnea (Pa CO2 meningkat). Kondisi yang berat dapat terjadi gagal nafas.

DIAGNOSIS
Anamnesis
Anak usia di bawah 2 tahun dengan didahului infeksi saluran nafas akut bagian atas dengan gejala batuk, pilek, biasanya tanpa demam atau hanya subfebris. Sesak nafas makin hebat dengan nafas dangkal dan cepat.
Pemeriksaan fisis
Dapat dijumpai demam, dispne dengan expiratory effort dan retraksi. Nafas cepat dangkal disertai dengan nafas cuping hidung, sianosis sekitar hidung dan mulut, gelisah. Terdengar ekspirium memanjang atau mengi (wheezing). Pada auskultasi paru dapat terdengar ronki basah halus nyaring pada akhir atau awal inspirasi. Suara perkusi paru hipersonor. Jika obstruksi hebat suara nafas nyaris tidak terdengar, napas cepat dangkal, wheezing berkurang bahkan hilang.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah tepi tidak khas. Pada pemeriksaan foto dada AP dan lateral dapat terlihat gambaran hiperinflasi paru (emfisema) dengan diameter anteroposterior membesar pada foto lateral serta dapat terlihat bercak konsolidasi yang tersebar. Analisis gas darah dapat menunjukan hiperkarbia sebagai tanda air trapping, asidosis respiratorik atau metabolik. Bila tersedia, pemeriksaan deteksi cepat dengan antigen RSV dapat dikerjakan.
BATASAN

Keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam

I. Diare Akut :

Terjadi akut dan berlangsung paling lama 3-5 hari.

II. Diare berkepanjangan :

Berlangsung lebih dari 7 hari.

III. Diare kronik :

Berlangsung lebih dari 14 hari.

I. DIARE AKUT

1.1. PatofisioIogi dan Patogenesis

Ketidakseimbangan pengangkutan air dan elektrolit berperan penting pada patogenesis diare, terjadi perubahan absorbsi dan sekresi cairan dan elektrolit, yang dapat meningkatkan terjadinya dehidrasi.

Peningkatan pengeluaran cairan dapat terjadi oleh karena :

 Sekresi yang meningkat (secretory diarrhea), pada diare infeksi.

 Osmotik oleh karena adanya bahan-bahan dalam lumen usus.

 Moti1itas usus yang meningkat.

1.2. GejaIa Klinis

Frekuensi buang air besar bertambah dengan bentuk dan konsistensi yang lain dari biasanya dapat cair, berlendir, atau berdarah, dapat juga disertai gejala lain, anoreksia panas, muntah atau kembung. Dapat disertai gejala komplikasi, gangguan elektrolit, dehidrasi, gangguan gas darah/asidosis.

1.3. Penyebab

 Enteral : Infeksi enteral

Intoksikasi makanan

 Parenteral : Infeksi parenteral (ISPA, saluran kemih, OMA, dll).

Infeksi Enteral :

- Virus: Rotavirus, adenovirus, dan lain-lain

- Bakteri : Salmonella, shigella, E-Coli, Yersinia, Campylobacter.

- Parasit, Protozoa (ent. Histolitika)

- Jamur . dll

1.4. Komplikasi

Awal :

Gangguan keseimbangan air, elektrolit dan asam basa, intoleransi klinik akut terhadap karbohidrat dan lemak.

Lambat :

- Diare berkepanjangan (prolonged diarrhea)

- Intoleransi klinik hidrat arang yang berkepanjangan.

- Diare persisten

Diare kronik :

- Sindrom postenteritis

- Diare intraktabel
BATASAN

Kondisi yang mengancam jiwa yang disebabkan penurunan kadar insulin efektif didalam tubuh, atau berkaitan dengan resistensi insulin, dan disertai peningkatan produksi hormon-hormon kontra regulator yakni : glukagon, katekolamin, kortisol dan growth hormon.

PATOFISIOLOGI
Adanya defisiensi insulin baik secara relatif maupun absolut yang disertai peningkatan hormon-hormon kontra regulator yakni : glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone, menyebabkan hiperglikemia disertai peningkatan lipolisis dan produksi keton, yakni : asetoasetat, β-hidroksibutirat dan aseton yang merupakan asam kuat dan dapat menyebabkan asidosis metabolik. Hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik yang mengakibatkan dehidrasi dan kehilangan mineral dan elektrolit.

 
GEJALA KLINIS
Gejala klinis biasanya berlangsung cepat dalam waktu kurang dari 24 jam. Poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan yang nyata biasanya terjadi beberapa hari menjelang KAD, dan sering disertai mual-muntah dan nyeri perut. Nyeri perut sering disalah-artikan sebagai 'akut abdomen'. Asidosis metabolik diduga menjadi penyebab utama gejala nyeri abdomen, gejala ini akan menghilang dengan sendirinya setelah asidosisnya teratasi.

Sering dijumpai penurunan kesadaran, bahkan koma (10% kasus), dehidrasi dan syok hipovolemia (kulit/mukosa kering dan penurunan turgor, hipotensi dan takikardi). Tanda lain adalah napas cepat dan dalam (Kussmaul) yang merupakan kompensasi hiperventilasi akibat asidosis metabolik, disertai bau aseton pada napasnya.

PEMERIKSAAN
1. Kadar glukosa darah.
2. Elektrolit darah (tentukan corrected Na) dan osmolalitas serum.
3. Analisis gas darah, BUN dan kreatinin.
4. Darah lengkap (pada KAD sering dijumpai gambaran lekositosis), HbA1c, urinalisis (dan kultur urine bila ada indikasi).
5. Foto polos dada.
6. Keton urine (dan atau keton darah).
BATASAN

Rinitis Alergika secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung, terjadi setelah paparan alergen melalui peradangan mukosa hidung yang diperantarai IgE.

PATOFISIOLOGI
Gejala rinitis alergika dapat dicetuskan oleh beberapa faktor :

• Alergen

Alergen hirupan merupakan alergen terbanyak penyebab serangan gejala rinitis alergika. Tungau debu rumah, bulu hewan, dan tepung sari merupakan alergen hirupan utama penyebab rinitis alergika dengan bertambahnya usia, sedang pada bayi dan balita, makanan masih merupakan penyebab yang penting.

• Polutan

Fakta epidemiologi menunjukkan bahwa polutan memperberat rinitis. Polusi dalam ruangan terutama gas dan asap rokok, sedangkan polutan di luar termasuk gas buang disel, karbon oksida, nitrogen, dan sulfur dioksida. Mekanisme terjadinya rinitis oleh polutan akhir-akhir ini telah diketahui lebih jelas.

• Aspirin

Aspirin dan obat anti inflamasi non steroid dapat mencetuskan rinitis alergika pada penderita tertentu.

Secara klasik rinitis alergika dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi dengan perantaraan IgE. Pada pemeriksaan patologi, ditemukan infiltrat inflamasi yang terdiri atas berbagai macam sel. Pada rinitis alergika selain granulosit, perubahan kualitatif monosit merupakan hal penting dan ternyata IgE rupanya tidak saja diproduksi lokal pada mukosa hidung. Tetapi terjadi respons selular yang meliputi: kemotaksis, pergerakan selektif dan migrasi sel-sel transendotel. Pelepasan sitokin dan kemokin antara lain IL-8, IL-13, eotaxin dan RANTES berpengaruh pada penarikan sel-sel radang yang selanjutnya menyebabkan inflamasi alergi.
BATASAN

Alergi makanan adalah kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan. Alergi makanan di masyarakat merupakan istilah umum untuk menyatakan reaksi simpang terhadap makanan termasuk di dalamnya proses non-alergi yang sebenarnya lebih tepat disebut intoleransi. Intoleransi makanan merupakan reaksi terhadap makanan yang bukan reaksi imunologik, misalnya reaksi toksik, reaksi metabolik, dan reaksi indiosinkrasi.

PATOFISIOLOGI

Faktor yang berperan dalam alergi makanan :

• Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi makanan tertentu.

• Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.

• Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban latihan (lari, olah raga).

Alergen dalam makanan :

• Merupakan protein, glikoprotein atau polipeptida dengan besar molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan enzim proteolitik.

• Pada ikan diketahui allergen-M sebagai determinan. Pada telur ovomukoid merupakan alergen utama. Pada susu sapi betalaktoglobulin (BLG), alfalalaktalbumin (ALA), bovin serum albumin (BSA) dan bovin gama globulin (BGG) merupakan alergen utama dan BLG adalah alergen terkuat. Pada kacang tanah alergen terpenting adalah arachin, conarachin dan peanut-1. Pada udang dikenal allergen-1 dengan berat molekul 21.000 dalton dan Allergen-2 dengan berat molekul 200.000 dalton. Pada gandum yang merupakan alergen utama adalah: albumin, pseudoglobulin dan euglobulin

Terjadinya alergi makanan :

• Pada paparan awal, alergen dikenali oleh sel penyaji antigen untuk selanjutnya mengekspresikan pada sel-T. Sel-T tersensitisasi dan akan merangsang sel-B menghasilkan antibodi dari berbagai subtipe.

• Alergen yang intak diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan organ limfoid usus,yang pada anak atopi cenderung terbentuk IgE lebih banyak.Selanjutnya terjadi sensitisai sel mast pada saluran cerna, saluran nafas dan kulit. Kombinasi alergen dengan IgE pada sel mast bisa terjadi pada IgE yang telah melekat pada sel mast atau komplek IgE-Alergen terjadi ketika IgE masih belum melekat pada sel mast atau IgE yang telah melekat pada sel mast diaktifasi oleh pasangan non spesifik, akan menimbulkan degranulasi mediator. Pembuatan antibodi IgE dimulai sejak paparan awal dan berlanjut walaupun dilakukan diet eliminasi. Komplemen akan mulai mengalami aktivasi oleh kompleks antigen antibodi.

• Pada paparan selanjutnya mulai terjadi produksi sitokin oleh sel-T. Sitokin mempunyai berbagai efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan. Aktifasi komplemen dan terjadinya komplek imun akan menarik netrofil.

• Gejala klinis yang timbul adalah hasil interaksi mediator, sitokin dan kerusakan jaringan yang ditimbulkannya.

• Bayi atopi juga mendapat sensitisasi melalui makanan alergenik yang terkandung dalam air susu ibu. Bayi-bayi dengan alergi awal terhadap satu makanan misalnya susu, juga mempunyai resiko yang tinggi untuk berkembang menjadi alergi terhadap makanan lain.